Selasa, 07 Mei 2013

Studi Kritis Terhadap Aliran-Aliran Tasawuf


BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Realitas kehidupan manusia akhir-akhir ini apabila dicermati telah mengalami kejenuhan-kejenuhan yang pada tingkat tertentu mengakibatkan manusia mengambil tindakan yang oleh rasionalitas dianggap sangat mustahil. Ini terefleksi setidaknya dengan memperhatikan peristiwa bunuh diri massal atas nama agama serta fenomena kekerasan yang menjadi kecenderungan akhir-akhir ini. Dari kedua hal itu, bisa  dipahami bahwa kehidupan kemanusiaan mengalami sebuah tantangan besar untuk mempertahankan eksistensinya. Tantangan tersebut bukanlah merupakan suatu ancaman, tetapi realitas yang harus disikapi dan dihadapi.Apabila diformulasikan tantangan kemanusiaan tersebut mengarah pada dua hal yaitu krisis modernitas dan krisis pemahaman agama.
Tasawuf, yang di kalangan Barat dikenal dengan mistisme Islam, merupakan salah satu aspek (esosteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berati  kesadaran adanya komunikasi dan dialog lansung seorang  hamba  dengan  Tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rosululloh SAW, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman merupakan hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnyaseperti fiqh dan ilmu tauhid.Oleh karena itu tasawuf―seperti halnya ilmu-ilmu lainya―tidak terlepas darikritikan-kritikandari berbagai golongan yang menentangnya.[1]
Serangan berulang-ulang ditujukan pada tasawuf  dalam sejarah Islam memiliki banyak penyebab. Tidak sedikit diantara penyebabini berupa pengaruh sosial dan politik para guru sufi, yang sering mengancam kekuasaan serta hak-hak istimewa para ahli hokum dan bahkan penguasa. Walaupun otoritas-otoritas besar sufi telah meletakan banyak garis pemandu untuk menjaga agar tasawuf agar tepat berada dalam jantung tradisi Islam, gerakan keagamaan rakyat yang yang ditujukan untuk mengintensifkan pengalamam keagamaan dan mempunyai sedikit kepedulian terhadap norma-norma Islamjuga dikaitkan dengan tasawuf. Tak peduli apakah para anggota gerakan-gerakan ini menganggap diri mereka sufi ataukah tidak, yang jelas para penentang sufisme meras beruntung dapat mengklaim bahwa ekses-ekses yang ditimbukan oleh anggota gerakan tersebut mewakili sifat tasawuf . Otoritas-otoritas sufi sendiri sering mengkritik sufi yang keliru, dan bahaya-bahaya yang dihubungkan dengan ketiadaan kontak dengan intiahistoris sufisme hanya dapat meningkat manakala sebagian besar tasawuf kemudian terlembagakan melalui tarekat-terekat sufi.[2]
Menurut Sayyid Nur bin Sayyid Ali, kritik terhadap tasawuf berlatar belakang insiden jejak yang terjadi pada permulaan abad ke-4 H, ketika aliran-aliran kebatinan, Syi’ah, Qaramithah, dan kafir zindik memanfaatkan tarekat-tarekat sufisme. Mereka menyebabkan Islam berada pada kondisi yang berbahaya, tetapi sesungguhnya tak ada kelemahan bagi orang sufi. Kejadian itu Ialah Ibnu Saba’, orang berdarah Yahudi memanfaatkan cinta Ahl Al-Bait sebagai tipu daya. Dia menyebarkan benih fitnah dan perang sipil yang menyebabkan wafatnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. dan gugurnya sekitar 10.000 orang sahabat dantabi’in sebagai syahid. Apakah peristiwa tersebut ada kelalaian Ahl Al-Bait dan kecintaan terhadap Ali r.a.? jawabannya tentu tidak. Demikian pula, paham tasawufvtidak boleh dicemari dengannya.Tasawuf taka da kaitannya dengan fitnah tersebut.[3]
Pada permualaan abad ke-7 H, sekelompok kafir zindik dan ahli-ahli bid’ah menyelinap masuk kebarisan orang-orangberpaham sufi. Oleh karena itu, mereka menebarkan akidah-akidahsyirikndan perbuatan-perbuatanbid’ah atas nama perbuatan-perbuatan bid’ah atas nama agama, misalnya :
1.           Para nabi dan wali itu dapat melihat kealam kuburmughayabat(alam gaib).
2.           Para wali itu dapat mengubah urusan-urusan penciptaan.
3.           Para wali itu dapat mendengarkan panggilan-panggilan dikuburan dan memiliki gudang rahmat Allah SWT.
4.           Para wali itu dapat menolong dan membukakan kesulitan serta menolak keputusan Allah (qodho).
5.           Mendirikan masjid-masjid dan kubah diatas kuburan para wali.
6.           Berziarah kubur serta mengagungkannya dengan bersujud dan memohon dipenuhi kebutuhan kepada pemilik kuburan.
7.           Berpergian kekuburan-kuburan para wali dengan tujuan-tujuan ber-taqarrub dan berdoa dari sana.
8.           Menyampaikan nazar dan hadiah kepada kuburan dan dihadapan para wali.
9.           Mengadakan majelis-majelis dan perayaan-perayaan bulanan dan tahunan dikuburan atas nama pembukaandari sepasang pengantin, mengupas zakar mitan, dan mencari berkah. Mereka menyembelih sapi, kerbau, dan kambing atas nama para wali sebagai taqarub kepada mereka dan disana bercampur antara laki-laki dan perempuan.
10.       Membolehkan tamborin atau rebana, berdansa, dan seruling, seruling penghangatan atas nama dzikirdan pertemuan-pertemuan tradisi.
11.       Menyelenggarakan perayaan-perayaan atas nama ulang tahun kelahiran (milad) dan biografi Nabi pada tanggal 12 Rabi Al-Awwal.
12.       Membuat shighat shalawat dan kalimat-kalimat dzikir dari hasil mereka sendiri.
13.       Menyia-nyiakan Al-Quran dan As-Sunnah, serta mencintai hikayat-hikayat dan keramat-keramat yang indah.
14.       Menggugurkan taklif syar’iyyah (tuntutan syara’) dari diri mereka dengan dalih telah sampai kepada tujuan dan hujjah-hujjah yang indah, serta dengan dalih ilmu-ilmu terpendam dan rahasia-rahasia yang diwariskan.
15.       Akidah batil al-ittihād (penyatuan wujud dengan Tuhan),al-hulūl (menempati Dzat Tuhan), atau wahdat al-wuju̅d (kesatuan wujud dengan Tuhan).[4]
Mereka yang tersesat lagi bodoh tersebut menisbatkan kebohongan dan kesesatan-kesesatannya kepada paham sufi yang benar. Hal itu karena sirkulasi kesesatan mereka dan untuk menyesatkan orang awam. Janganlah menafsirkan reputasi paham sufi dengan kesesatan mereka yang sesat dan ahli bid’ah.[5]
B.     Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis mengangkat sebuah masalah, yaitu :
·         Kritik benar dan salah terhadap aliran tasawuf.

C.    Maksud dan Tujuan
Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap,Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui letak kebenaran dan kesalahan terhadap kritik-kritik yang ditujukan pada tasawuf.
 BAB II
Landasan Teori

A.     Diskripsi Tentang Berbagai Pemahaman Tentang Tasawuf Dan Tarekat
Tasawuf[6] merupakan praktik spiritual dalam tradisi Islam.Tasawuf memandang ruh sebagai puncak dari segala realitas, sementara jasad tidak lebih sebagai “kendaraan” saja (Aceh, 1984: 28).Oleh sebab itu, jalan spiritualitas lebih banyak menekankan pada aspek ruhani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman yang juga bersifat personal.Berbeda dengan agama yang bersifat umum (dalam Islam di kenal dengan istilah sya’riah/syari’at), jalan tasawuf kemudian dikenal dengan istilah tarekat (dekat dengan istilah tirakat). Dalam perspektip tarekat setiap pendaki akan melewati level dan kondisi (maqomat dan ahwal) di bawah bimbingan guru spiritual (dalam Islam dikenal dengan istilah Mursyid) (Arberry, 1979: 84). Di antara satu guru dengan guru yang lain sangat dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda.
Murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb).Ada yang menyebut istilah ini dengan Mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri (menghadirkan) atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid dilatih membersihkan diri melalui tarekat tadi dengan menempuh dari level tertentu ke level yang lebih tinggi, dari kondisi tertentu ke kondisi yang lebih yang lain, hingga murid mampu mencapai tingkatan fana (kosong/hampa) tidak ada lagi ego dalam diri murid sehingga murid sampai pada sebuah kondisi “tersingkap”, “menghadirkan”, atau “berhadap-hadapan” (Nicholson, 1979: 30).
Disinilah antara tasawuf moral dan tasawuf falsafi berbeda jalan. Tasawuf moral, setelah melewati fase tadi, mengajak “kembali” sang murid untuk hidup dalam dunia “nyata” dan kembali masuk dalam aturan syariat, namun syariat yang telah diisi dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan, sehingga syariat yang dijalankan akan lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan perjalanan. Misalnya, sang murid sudah mengerti apa hakikat sholat, puasa dan zakat lalu bisa mempraktikannya dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid sudah mengerti bahwa pada sisi yang paling esoterik semua agama memiliki tujuan yang sama sehingga mampu untuk hidup toleran serta tidak memperbesar perbedaan sisi eksoterik satu agama dengan agama yang lain. Sang murid sudah mengerti bagaimana cara bergaul dan menghargai antara sesama manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana ia berasal dan kemana ia akan kembali (Zuhri, 1979: 30).
Berbeda dengan tasawuf falsafi. Setelah sampai pada fase tersebut, sang murid atau bahkan sang guru, tidak mau “pulang”, tetapi mau tetap menikmati ekstase keindahan dan kenikmatan “bersatu” dengan Tuhan (Nicholson, 1979: 30). Terucaplah perkataan yang tidak terkontrol tadi (syathohat) dalam kondisi ekstase.Dari sinilah akhirnya terucap pengakuan sebagai “Sang Kebenaran” atau memuji dirinya sendiri sebagai Tuhan, atau menuangkan pengalaman bertuhannya dalam karya/tulisan (Bazsur Ilahi, 1986: 99). Di level sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul khawas) mungkin tidak menjadi persoalan, tetapi bagaimana di kalangan awam yang memang hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf?
Disinilah problem selanjutnya muncul. Mau tidak mau, atas nama menjaga kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan alasan-alasan yang sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini diklaim sesat dan berakhir dengan hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul (terbunuh), Abu Mansyur Al-Hallaj dan Ainul Qudhat Hamadani adalah sufi falsafi yang hidupnya berakhir dengan hukuman mati. Bahkan Syuhrawardi dan Ainul Qudhat dihukum mati dalam usia yang cukup muda. Apa yang terjadi dengan Syekh Siti Djenar (jika kisah ini juga memang benar dan bukan sebagai mitos serta terlepas dari persoalan politik) adalah termasuk dalam kategori ini. Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim kaum sufi yang juga diperdebatkan dikalangan teologis dan ahli fikih, bahkan bagi sebagian kalangan Islam yang agak keras, praktik tasawuf dianggap bid’ah (Fauzan, 1998: 39).
Apa yang dicontohkan Al-Ghazali dan Jalaludin Rumi yaitu untuk segera pulang setelah bertemu Tuhan, bisa menjadi teladan yang baik bagi para praktisi tasawuf dewasa ini. Al-Ghazali menghiasi syariat yang kaku dengan nilai-nilai hakikat, atau Rumi yang sengekspresikan kebahagian dan rasa cinta serta rindu kepada Tuhan melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan dll) yang terlukiskan dalam karya sastra.
Mungkin tidak mudah untuk serta merta diterima oleh rasio karena memang tasawuf tidak menggunakan “alat ukur” rasionalitas. Tasawuf menggunakan alat ukur yang berbeda yang bernama “ainul qolb” (mata batin) yang diyakini juga ada dalam diri setiap manusia yang kadang sepintas ia “muncul” dan kita tidak mengenalinya lalu “tertutup” lagi oleh potensi lain dalam diri kita (Aceh, 1984: 28).
a.      Deskripsi Tentang Tasawuf
Sebagai pengantar kajian tentang tasawuf alangkah baiknya kita simak pendapat Wahid B. Rabbani yang menyatakan:
Sufisme and science are striving for the same destination. Science wants to know: how did the universe come into being and what is its nature? Is there any creator? What is He like? Where is He? How is He related to the universe? How is He related to the man? Is it possible for man to approach Him? Sufi has found the answers and invite the scientist to come and have that knowledge (Rabbani:1995, 1).
Kutipan diatas adalah sebuah ilustrasi yang memberitahu kepada kita bahwa tasawuf (dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah sufisme, tasawuf dan mistisisme secara bergantian untuk maksud yang sama) adalah suatu hal yang sangat penting. Bukan hanya dalam konteks sebagai entitas dari ajaran Islam karena ia adalah innerdimension of the Islamic relevation (Nasr, 1980: 31), namun lebih dari itu sufisme menjadi hal yang sangat utama dalam rangka pencarian terhadap makna hidup yang bersifat universal dan perennial (Lings, 1993: 22-23).
Tasawuf dalam hal ini dapat disandingkan dengan ilmu pengetahuan (sains) dalam upaya mencari cara pandang terhadap kehidupan. Oleh sebab itu tidak heran apabila, dalam tradisi Islam, tasawuf menjadi fenomena yang sangat complicated dan penuh dengan dinamika. Historisitas Islam sangatlah dipengaruhi akan keberadaan mistisisme baik sejak awal berdirinya agama ini sampai saat sekarang. Tasawuf dalam sejarah Islam mengalami perkembangan dan modifikasi yang sangat variatif, maka tidak heran apabila dalam setiap periode sejarah umat Islam, selalu muncul para tokoh sufi dan kelompok-kelompok sufi (sufi orde) pada hampir seluruh wilayah umat Islam.
Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah.Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik).Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia (Aceh, 1984: 28) yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia.Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa).Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapantahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri).
Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua hal: penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah (Umari, 1961: 123).
Sesungguhnya tasawuf secara formal belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad.Istilah ini secara tehnis baru berkembang setelah abad kedua hijriah (Basyuni, 1960: 111).Pendapat ini diamini dari Saleh Fauzan (1998: 1). Menurutnya kata tasawuf dan sufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada) setelah itu atau masuk kedalam Islam dari umat-umat yang hidup di belakang hari. Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya dituliskan: “Adapun kata sufi tidak dikenal di 3 masa yang utama ( shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in) dan hanya dikenal setelah masa itu” (dalam Fauzan, 1998: 1). Hal ini banyak dinukil oleh para imam, seperti Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Sulaiman Ad-Darani. Lebih lanjut Saleh Fauzan menjelaskan.
Dan Sufi itu tidak ada dalam Islam.Ada yang mengatakan bahwa asalnya adalah dari kata Shuuf (bulu domba) dan inilah yang terkenal di kalangan banyak orang. Dan sufi yang pertama muncul adalah dinegeri Basrah. Orang yang pertama kali mengadakan gerakan sufi ini adalah sebagian dari sahabat Abdul Wahid bin Zaid, ia adalah seorang sahabat Al Hasan Al Basri. Ia (Abdul Wahid) populer di Basrah dengan sifatnya yang keterlaluan dalam zuhud, ibadah, rasa takut dll. Tidak ada penduduk kota itu yang seperti dia. Abu Syaikh telah meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Muhammad bin Sirin bahwa telah sampai berita kepadanya tentang sebagian kaum yang lebih mengutamakan pakaian dari bulu domba. Ia berkata: “sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan memakai pakaian bulu domba. Mereka mengatakan ingin meniru pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita lebih kita cintai. Nabi juga memakai pakaian dari katun dan lain-lain, atau komentar yang senada dengan itu (Fauzan: 1998, 1).
Para peneliti pemikiran keislaman berbeda pendapat mengenai asal mula kata al tasawuf. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ia berasal dari kata shaf yang berarti baju dari bulu domba kasar yang biasa dipakai oleh orang saleh yang tidak lagi menghiraukan kehidupan dunia. Sebagian yang lain berpendapat berasal dari shafa yang berarti bersih dan suci karena orang sufi senantiasa membuat lahir batinnya dalam keadaan suci. Sebagian yang lain ada yang menyandarkannya kepada al-shuffat yaitu serambi masjid tempat Rosulullah mengajar dan tempat ibadah sahabat yang terkenal keshalihannya seperti Abu Zar al-Ghifari, sedangkan ada yang lain namun minoritas yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani shopos (Hidayat, 2003: 542).
Secara etimologis, tasawuf setidaknya dapat dirujuk dari tujuh kata asal yaitu: shafa (suci), saff (barisan shalat), saufanah (buah-buahan kecil berbulu yang banyak dijumpai dipadang pasir), safwah (yang terbaik), suf (bulu domba kasar), theosophy (hikmat ketuhanan) dan shuffah,.Menurut Al-Kalabazi (1969: 1), kata shuffah, dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu pelana kuda yang dipergunakan oleh para sahabat nabi untuk bantal tidur disamping masjid nabawi atau juga dapat dipahami sebagai suatu kamar di serambi Masjid Nabawi yang ditempati oleh beberapa sahabat Anshar. Pendapat Al-Kalabazi ini dipertanyakan oleh Mir Valiuddin (1987: 2) menurutnya jika memang asal kata tasawuf berasal dari shuffah maka panggilan bagi pelaku tasawuf bukannya sufimelainkan shuffi. Pendapat Al- Kalabazi mendapat penegasan dari Al-suhrawardi (1985: 445) yang mengatakan “mekipun secara ilmu bahasa tasawuf berasal dari kata shuffah, namun secara maknawi dapat dibenarkan”.
Dari berbagai istilah itu ada kecenderungan bahwa tasawuf berasal dari kata shuff.Kelompok yang mendukung pendapat ini adalah Al Suhrawardi (1985: 326), dengan beberapa alasan: pertama, didasarkan pada hadis dari Anas yang menyatakan Rasulullah mendatangi undangan hamba sahaya naik Himar dan memakai pakaian bulu domba. Serta didasarkan pada pernyataan hasan Basri yang pada intinya dia telah bertemu tujuh puluh pasukan badar yang mengenakan pakaian bulu domba.Pendapat ini juga disetujuai oleh HAR.Gibb (1964: 110), menurutnya sebutan mutashawwif diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian dari bulu domba dan perilakunya disebut tasawuf.Lebih lanjut menurutnya, secara histories asal mula pakaian bulu domba ini sebagai lambang penebusan dosa seseorang yang diidentikkan dengan pakaian Isa (Gibb: 1964, 110). Dukungan juga diberikan oleh Ibnu Khaldun (tt: 370-371) dan Noldeke, sebagaimana dikutip oleh Nicholson (1975: 3-4) dia menjelaskan bahwa sebutan shuff awalnya dinisbatkan kepada orang-orang Islam yang hidup asketis, meniru kehidupan para biarawan Nasrani yang biasanya mengenakan pakaian dari anyaman bulu domba yang kasar sebagai tanda tobat dan niat yang kuat untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa inti dari perbedaan pendapat mengenai asal kata tasawuf bermula dari perbedaan sudut pandang. Ada kelompok yang menitikberatkan pada aspek lahiriah yaitu pakaian yang dipakai oleh pelaku tasawuf (shuf) sedangkan kelompok yang lain menekankan pada aspek batiniah yaitu kondisi jiwa yang bersih dari sifat-sifat tercela (shafa), sedangkan yang lain menitikberatkan pada aspek perilaku yaitu adanya kesamaan amaliah antara ahli tasawuf dengan ahli shuffah dan juga kebanyakan ahli tasawuf selalu berpuasa dan bangun malam melaksanakan sholat malam sehingga badannya kurus seperti pohon shufanah.
Secara terminologis, istilah tasawuf diungkapkan secara beragam, Junaid al Baghdady berpendapat bahwa tasawuf adalah penyerahan kehendak dan tujuan hanya kepada Allah bukan kepada yang lain (dalam Zachner, 1969: 46). Untuk mencapai sebuah penyerahan kehendak dan tujuan secara total kepada Allah mensyaratkan adanya proses pembersihan terhadap hati, karena hati adalah bagian dari Tuhan. Oleh sebab itu esensi dari tasawuf sesungguhnya adalah penyucian hati dari segala kotoran dan entitas-entitas keduniawian. Penyucian jiwa ini akan berdampak pada kedamaian dan kesejukan karena kehadiran Tuhan senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Dari sini dapat dipahami bahwa pada dasarnya tasawuf memuat dua entitas penting yaitu, pertama: kesucian jiwa untuk menghadap Tuhan sebagai zat yang maha suci dan kedua: upaya pendekatan diri secara individual kepada-Nya (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2004: 307).
Secara terminology, definisi tentang tasawuf juga dapat dirujuk dari banyak tokoh. Menurut Abu Qosim Abdul Karim al-Qusyairi (tt: 56-57), tasawuf adalah menjabarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjahui perbuatan Bid’ah, mengendalikan syahwat dan menghindari sikap meringankan ibadah. Menurut Ma’ruf ak-Karkhi sebagaimana dikutip oleh Al-Syuhrawardi (1985: 326) tasawuf adalah mengambil hakekat dan tidak tamak dari apa yang dimiliki oleh makhluk. Menurut al-Nuri sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Basuni (1969: 18), tasawuf adalah akhlak mulia.Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani (1974: 3-12) mendefinisikan tasawuf sebagai sikap menempuh kehidupan zuhud, menghindarkan diri dari kehidupan duniawi, melakukan berbagai macam ibadah, melemahkan dimesndi jasmani dan memperkuat dimensi ruhani.
Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan perilaku yang dilandasi oleh akhlak mulia, mampu mengisi waktu yang ada untuk beribadah kepada Allah dan menghindarkan diri dari semua perbuatan tercela.Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran- Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun (1966: 231)
Secara histories lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan (Al-Afifi, 1989: 30). Oleh karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah.
Menurut Hamka (1978: 75), kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri, sebab ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis.Hanya saja sebagian ulama belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan masyarakat.Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di tengah-tengah umat.Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah. Padahal dapat diketahui bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan actual umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam ((Hamka: 1978, 76).
Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian.Tetapi tasawuf dapat berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman.Seperti diungkap R.A. Nicholson (1979: 23), bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja.
Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkahlangkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminative (Russel, 1927: 28). Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’a, tariqa, dan haqiqa (Valiuddin, 1981: 56). Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: taubat, zuhud, sabar, tawakkal, ridha, mahabbah, ma’rifah, fana’, ittihad, hulul. Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state) yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut: muraqabah, khauf, dan raja’, Syauq, Uns, tuma’ninah, musyahadah, dan yakin (Nasution, 1974: 79).
Dalam wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang, sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli.Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat (dari kata syari’=jalan utama) (Triminghan, 1971: 51).
 b.      Deskripsi tentang Kemunculan Tasawuf
Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya.Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki.Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam (Al-Taftazani, 1979: 72).
Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al-Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan.Belakangan, al- Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam.Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’.Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi[7] cenderung menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Abu al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi.
Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan; (2) masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3) bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1) sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim; (2) sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentukbentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah.Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka (Effendi, 1993: 34). Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga tahapan berikut: (1) khanaqah, yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar abad ke-10 M; (2) tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan; (3) taifa, yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang melestarikan ajaran syaikh tertentu (Effendi, 1993: 67).
Tarekat adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu untuk menemukan kejernihan jiwa dan hati.Varian tarekat dapat disejajarkan sebagai mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula varian-varian mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih.
c.       Deskripsi Tentang Tarekat
Tarekat berasal dari kata 'thariqah jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diridhoi Allah.Secara praktisnya tarekat adalah kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa (Haeri, 2000: 37). Menurut Al- Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah melalui tahapantahapan/ maqamat. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah (dalam Mulkhan, 1998: 111).
Tarekat sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara langsung. Di abad-abad awal Islam, kaum sufi tidak terorganisasi dalam lingkungan-lingkungan khusus atau tarekat. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran dan teladan pribadi kaum sufi yang menjalani kehidupan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan agama mulai banyak menarik kelompok manusia. Di antara abad kesembilan dan kesebelas, mulai muncul berbagai tarekat sufi, yang meliputi para ahli dari segala lapisan masyarakat. Ketika tarekat sufi, atau persaudaraan sufi ini muncul, pusat kegiatan sufi bukan lagi di rumah-rumah pribadi, sekolah atau tempat kerja sang pemimpin spiritual (Nafies, 1996: 180).
Selain itu, struktur yang lebih bersifat kelembagaan pun diberikan pada pertemuan-pertemuan mereka, dan tarekat-tarekat sufi mulai menggunakan pusat-pusat yang sudah ada khusus untuk pertemuan-pertemuan ini. Pusat pertemuan kaum sufi biasanya disebut Khaneqah atau Zawiyya. Orang Turki menamakan tempat perlindungan orang sufi sebagai Tekke. Di Afrika Utara tempat semacam itu disebut Ribat, nama yang juga digunakan untuk menggambarkan kubu atau benteng tentara sufi yang membela jalan Islam dan berjuang melawan orang-orang yang hendak menghancurkannya. Di anak benua India, pusat sufi disebut Jama'at Khana atau Khaneqah (Arberry, 1988: 39).
Sama halnya dengan berbagai mazhab hukum Islam, yang muncul pada abad-abad awal setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimaksudkan untuk menegaskan suatu jalan yang jelas untuk penerapan hukum tersebut, demikian pula tarekat-tarekat sufi yang muncul dalam periode yang sama bermaksud menegaskan jalan yang sederhana bagi praktik penyucian batin. Sebagaimana banyak mazhab hukum Islam (fiqh) tidak lagi dipropagandakan sehingga berakhir, demikian pula banyak tarekat besar menghadapi situasi yang serupa. Di abad kesembilan terdapat lebih dari tiga puluh mazhab fiqh Islam, tetapi kemudian jumlah tersebut berkurang hingga lima atau enam saja. Di abad ke-12 Anda tak dapat menghitung jumlah tarekat sufi, antara lain karena banyaknya, dan karena tarekat-tarekat itu belum ditegaskan sebagai tarekat. Sebagian besar syekh dan guru spiritual dalam tarekat sufi dan mazhab hukum tidak mengharapkan ajaran mereka akan diberikan penafsiran yang terbatas dan sering kaku pada masa setelah kematian mereka, atau bahwa tarekat sufi dan mazhab hukum dinamai dengan nama mereka. Namun, terpeliharanya tarekat-tarekat sufi sebagian sering merupakan akibat dari pengasingan diri (uzlah) secara fisik dan arah yang diambil oleh kecenderungan Islam (Beck, 1988: 137).
Suatu kecenderungan yang nampak pada tarekat-tarekat sufi ialah bahwa banyak diantaranya telah saling bercampur, sering saling memperkuat dan kadang saling melemahkan. Kebanyakan tarekat sufi memelihara catatan tentang silsilahnya, yakni rantai penyampaian pengetahuan dari syekh ke syekh, yang sering tertelusuri sampai kepada salah satu Imam Syi'ah dan karenanya kembali melalui Imam 'Ali ke Nabi Muhammad SAW, sebagai bukti keotentikan dan wewenangnya.
Satu-satunya kekecualian adalah tarekat Naqsyabandiyah yang silsilah penyampaiannya melalui Abu Bakar, khalifah pertama di Madinah, ke Nabi Muhammad SAW (Beck, 1988: 139). Secara substansi tarekat mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau Mursyid, Wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah.Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru (Iqbal, 1981: 12).
Secara substansial terdapat dua macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat. Pertama, tarekat wajib, adalah amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam.Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat, makan makanan halal dan lain sebagainya. Kedua, tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib.
Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru Mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya.Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan murid atau pengikut.Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya (Trimingham, 1971: 4).
Salah satu amalan tarekat adalah wirid/zikir yang dibaca secara teratur dengan disiplin tertentu.Wirid ini diberikan/didiktekan oleh Rasulullah kepada pendiri tarekat tersebut melalui yaqazah (pertemuan secara sadar/jaga).Fungsi wirid ini adalah sebagai penguat amalan batin (Hamka, 1978: 241).Berikut adalah kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual.
Islam sebenarnya terdiri dari empat tingkatan spiritual yaitu, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat, sedangkan tingkatan keempat, adalah ma'rifat, tingkatan yang 'tak terlihat', yang sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari keempat tingkatan spiritual tersebut.

BAB III
Pembahasan

A.     Kritik Terhadap Sumber Tasawuf
Para penentang tasawuf menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari Rosululloh dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat.Mereka menganggap bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran sesat dan menyesatkan yang diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.Disamping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan konspirasi yang tersusun rapi untuk menghancurkan Islam. Diantara tujuan terpenting konspirasi tersebut adalah: 1) menjauhkan kaum muslim dari Islam yang hakiki dan ajarannya suci murni dengan kedok Islam. 2) memasarkan akidah-akidah Yahudi, Kristen, sekte-sekte di India, dan sekte-sekte di Persia seperti agama Budha, agama Hindu, Zoroaster, Al-Manawiyah, Platonisme.[8]
Ibrahim bin Hilal mencoba memetakan pengaruh unsur lain, terutama filsafat Yunani, terhadap tasawuf aliran falsafi. Ia menegaskan bahwa sumber dan kata tasawuf, baik dari mazhab terdahulu maupun belakangan, berasal dari luar dan bukan dari Islam.[9]
B.  Kritik Terhadap Tarekat
Di antara bentuk penyimpangan yang dialamatkan kepada tasawuf adalah menonjolkan kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi sehingga mengabaikan usaha (kerja). Di samping itu, ada bentuk penyimpangan yang lain seperti mengabaikan syariat dan perdukunan.[10]Akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut, timbullah kritik pedas terhadapnya.Kalangan pembaharu seperti Jamaluddin AL-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida memandang tarekat sebagai salah satu faktor penyebab kemunduran umat Islam.[11]
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata,
“…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli tasawuf menobatkan seseorang sebagai ‘wali’ hanya orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang diluar kemampuan manusia, seperti menunjukan kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang diudara menuju mekah atau tempat lainnya, terkadang berjalan diatas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya dating dan menunaikan kebutuhannya, memberi tahu tempat barang-barang yang dicuri, memberikan hal-hal yang gaib (tidak tampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal, kemampuan hal-hal ini sama sekali tidaklahmenunjukan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan, orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan sunnah Rosulullah SAW? Apakah orang tersebut selalu taat terhadap perintah beliau dan menjauhi larangannya?...karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan atau jin, sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah.”[12]
Sementara itu, Syekh Nawawi Banten menyampaikan kritiknya sebagai berikut:
“Adapun orang-orang yang mengambil tarekat, jikalau perkataan dan perbuatan mereka itu mufakat pada syara’ Nabi Muhammad sebagaimana ahli-ahli tarekat yang benar, maka maqbul,dan jika tiada begitu, maka tentulah seperti yang telah banyak terjadi di dalam anak-anak murid Syekh Ismail Minangkabau.
Maka bahwasanya mereka itu bercela akan dzikir Allah dengan (…) dan mereka itu bercela-cela akan orang yang tiada masuk dalam tarekat. Mereka itu hingga, bahwasanya akan mengikut bersembahyang padanya dan bercampur makan padanya dan mereka itu benci padanya istimewa pada bahwasanya Syekh Ismail itu hanyalah mengambil ia akan tarekat itu: asalnya karena mau jual agama dengan dunia adanya.[13]
Di sepanjang sejarah Islam memang terdapat kritikan tajam terhadap guru-guru dan organisasi-organisasi sufi. Salah satu contoh yang termasyhur adalah mistikus abad pertengahan, Al-Hallaj (w. 922), yang dihukum mati karena menyatakan persatuan mistisnya dengan Tuhan dengan cara ekstrim. Para penafsir Islam yang literitas dan legalis menentang praktik-praktik tarekat sufi karena dianggap menyediakan  sarana bagi praktik-praktik dan keyakinan-keyakinan non-Islam. Pada abad ke-18, oposisi terkuat terhadap tarekat dating dari gerakan Wahhabiyah yang sedang berkembang. Pada era modern, para pembaru modern mengkritik keras tarekat karena mendorong dan memperkuat takhayul rakyat, dan kaum modernis Islam berupaya mengurangi pengaruh syekh-syekh sufi dalam masyarakat mereka.[14]
Oposisi kaum modernis semacam itu dapat dilihat dalam tindaka-tindakan kaum pembaru di seluruh dunia Islam. Dimana pun gerakan modernis Salafiyah — yang muncul melalui pikiran dan tindakan kaum ulama pada akhir abad ke-19, semisal Muhammad Abduh (w. 1905) di Mesir— mempunyai pengaruh, di situ terdapat oposisi yang kuat terhadap praktik-praktik pemujaan rakyat serta pengaruh tarekat-tarekat sufi. Hal ini dapat di lihat dari kegiatan dan ajaran ‘Abdullah ibn Idris As-Sanusi (w. 1931) di Maroko, Perhimpunan Ulama Aljazair yang dibentuk pada 1930-an, Muhammadiyah di Indonesia di sepanjang abad ke-20, gerakan Jadidiyah di wilayah Kekaisaran Rusia lama, serta di wilayah banyak lain. Selain itu, progam-progam reformasi yang lebih jelas terbaratkan berupaya menghapus pengaruh tarekat, sebagaimana dengan amat bait diilustrasikan dalam reformasi Musthafa Kemal Ataturk selama 1920-an dan 1930-an di republic baru Turki.[15]
Sisi lain dari tarekat yang menjadi sorotan adalah bahwa tarekat umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia ini karena “Dunia ini adalah bangkai, yang mengejar dunia adalah anjing.”Ajaran ini “tampaknya” menyelewengkan umat Islam dari jalan yang harus ditempuhnya. Demikian juga, sifat tawakal, menuggu apa saja yang datang, qadha dan qadar yang sejalan dengan paham Asy’ariyah. Para pembaharu dalam dunia Islam melaihat bahwa tarekat bukan hanya mencermarkan paham tauhid, tapi juga membawa kemunduran bagi umat Islam.[16] Bahkan, Schimmelmenyatakan bahwa tarekat-tarekat sufi yang muncul dari kebutuhan merohanikan Islam akhirnya menjadi unsure yang menyebabkan kemandegan orang-orang Islam.[17]
C.    Kritik Terhadap Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi diwakili para sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, sebagaimana telah disebut di atas. Para sufiyang juga filosof ini mendapat banyak kecaman dari para fuqaha, yang justru semakin keras akibat pernyataan-pernyataanmereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ialah Ibn Taimiyah (meninggal pada tahun 728 H).[18]
Dari mulut sebagian sufi lahir beberapa syathahat, yaitu ungkapan dari isyarat-isyarat yang mereka sampaikan saat berada dalam keadaan mabuk ketuhanan dan lenyapnya kesadaran, yang makna-maknanya tidak jelas bagi orang yang belum mencapai kondisi rohani (ahwal) seperti mereka. Ungkapan-ungkapan itu barangkalikeluar dari batas etika-etika syara’, tidak pantas di hadapan Tuhan Yang Mahasuci, atau dari ungkapan-ungkapan itu merembes paham ateisme. Sikap kita terhadap syathahat-syathahat mereka itu tidak berbeda dengan sikap ulama salaf yang aneh.[19]
Dalam kaitan ini, Ibnu Qayyim berkata,
“Ketahuilah bahwa dalam bahasa kaum sufi itu ada banyak metafora yang banyak dimiliki oleh bahasa kaum yang lainnya.Ada pengungkapan hal umum, tetapi yangdimaksud adalah hal yang khusus.Atau pengungkapan satu kata, namun yang dimaksud adalah indikasinya, bukan makna yang sebernarnya.Karena itu, mereka berkata, ‘Kami adalah para pemilik isyarat, bukan pemilik ungkapan.Isyarat bagi kami, sedang ungkapan bagi orang selain kami.’ Mereka (para sufi) terkadang mengungkapan satu frase yang diungkapan ulang oleh orang ateisme. Dengan frase itu, para sufi menghendaki suatu makna bukan kerusakan. Oleh karena itu, frase itu menjadi sebab timbulnya fitnah di antara dua kelompok. Satu kelompok bersandar kedapa whir frase, lalu menilai yang mengungkapkan frase itu ahli bid’ah dan menyesatkan. Sementara kelompok yang satu lagi memandang maksud-maksud dan tujuan dari orang-orang sufi, lalu membenrkan ungkapn dari isyarat-isyarat mereka itu. Maka orang yangmencari kebenaran (al-haqq) akan menerimanya dari orang ahli kebenaran, dan menolak dari bukan ahli kebeneran.”[20]
Ibn Nadim, berlandaskan sumber-sumber tertentu yang bertentangan, pada abad ke-10 berkata tentang Al-Hallaj:
“Al-Husayn ibn Mansur Al-Hallaj adalah seorang penipu dan tukang sulap yang memberanikan diri masuk ke dalam pemikiran mazhabsufi, mempengaruhi gaya bahasa mereka. Ia menyatakan menguasai setiap bidang ilmu, tetapi pernyataan itu tidak berharga. Ia tahu sedikit tentang yang al-hikmah. Ia bodoh, berani, patuh, tetapi tidak gentar di hadapan sultan, berusaha melakukan hal-hal besar dan sungguh menginginkan suatu perubahan dalam pemerintah. Di antara para pengikutnya ia mengaku bersifat Ilahi, dan berbicara tentang penyatuan Ilahi…..”[21]
Diantara hal yang paling penting yang dituduhkan oleh orang-orang yang menentang kaum sufi adalah tuduhan yang bodoh dan palsu bahwa kaum sufi menyakini hulul dan ittihad. Artinya, Allah menduduki seluruh bagian bumi, baik di lautan, pegunungan bukit-bukit, pepohonan, manusia, hewan dan sebagainya.Dengan kata lain, makhluk adalah Khaliq itu sendiri. Semua yang dapat diraba dan dapat dilihat di alam imi merupakan Dzat Allah dan diri-Nya.Mahasuci Allah dari semua itu.
Hulul dan ittihad tidak mungkin terjadi, kecuali dalam satu jenis.Allah buaknlah jenis sehingga Dia tidak bisa menyatu dengan jenis-jenis lainnya.Bagaimana yang Qadim menepati yang hadis, Khaliq menepati mahluk?Jika yang dimaksud dengan hulul adalah maksudnya ‘aradh (lawan dari esensi) ke dalam esensi, Allah bukanlah ‘aradh.Jika yang dimaksud adalah masuknya esensi ke dalam esensi, Allah bukanlah esensi.Jika hulul dan ittihad antara dua mahluk adalah sesuatu yang mustahil —tidak mungkin dua orang laki-laki menjadi satu orang laki-laki karena perbedaan zat keduanya— perbedaan antara Khaliq dan mahluk, antara Pembuat dan yang dibuat, dan antara Dzat yang wajib ada dan sesuatu yang mungkin, lebih besar dan lebih utama lagi.[22]
Para ulama dan para sufi yang tulus terus berusaha menjelaskan kesalahan pendapat tentang hulul dan ittihad, menunjukan kerusakannya, dan memperingatkan kesesatannya.[23]
Dalam Al-‘Aqidah Ash-Shughra, Syekh Muhyiddin ibn Arabi berkata, “Mahatinggi Allah dari menepati yang hadis, atau yang hadis menempati-Nya.” Dalam bab “Al-Asrar”, ia berkata, “Seorang ahli makrifat tidak boleh berkata, ‘Aku adalah Allah,’ sekalipun dia sampai pada kedekatan yang paling tinggi. Seorang ahli makrifat harus menjauhi perkataan seperti ini.Hendaknya dia berkata, ‘Aku adalah hamba yang hina dalam perjalanan menuju Engkau’.” Dalam bab ke-169, ia berkata, “Barang siapa yang berkata tentang hulul, berate dia itu sakit. Mengaku berkata tentang ittihad, kecuali orang murtad, sebagaimana orang yang berkata tentang hulul adalah orang yang bodoh dan berlebih-lebihan.” Dalam bab yang sama,ia berkata, “Yang hadis tidak akan terlepas dari sifat-sifat mahluk. Jika yang Qadim menepatinya, benarlah perkataan ahli tajsim.Jadi, yang Qadim tidak menepati dan tidak menjadi tempat.”[24]
D.    Kritik Praktik Tasawuf Secara Umum
Pembaharuan tasawuf Al-Ghazali, yaitu upayanya menehan gerakan yang wakatnya melebih-lebihkan itu tidak berhasil, walaupun pengaruhnya luar biasa.Gerakan mistisme menjadi sulit dikendalikan dan tidak dominan lagi.Umat mengalami kemunduran yang selama dua abad terakhir ini mereka berupaya keras mengatasi kemunduran ini. Ahli-ahli tetap mendisiplinkan manusia untuk mematuhi Tuhan dan menjalankan syariat, memperdalam komitmennya terhadap Islam dan menyucikan serta mengangkat jiwanya pada jalan kebenaran, tasawuf menjadi penyakit yang menyebabkan atau bahkan memperburuk gejala-gejala berikut:
1.      Kasyf (pencerahan genostik) menggantikan pengetahuan. Di bawah tasawuf, dunia muslimmeninggalkan komitmennya untuk mencari pengetahuan ilmiah yang rasional, dengan upaya mendapatkan visi pengalaman mistis. Kaum muslim mengabaikan pertimbangan dan pembuktian secara kritis dari berbagai alternatif terhadap pernyataan esoterik, amalan, dan otoritarian dari syekh (pemimpin) sufi. Bila sikap pikiran terhadap realitas berubah dan cenderung subjektif-esoteris mengambil alih, semua ilmu pengetahuan akan tersingkir. Bila manusia percaya kebenaran dapat diperoleh pengetahuan kritis, rasional, dan empiris akan padam. Pada waktunya, matematika, tercampur aduk dengan numerologi, astronomi, dengan astrologi, kimia dengan alkemi, dan pada umumnya, rekayasa alam dengan sihir.
2.      Karamah (mukjizat kecil), yang diajarkan tasawuf hanya mungkin dalam keadaan pernyatuan atau komuni dengan Tuhan. Karamah yang dibenarkan tasawuf sebagai anugerah yang dilimpahkan Tuhan kepada orang yang sangat saleh, merusak perhatian muslim terhadap hubungan sebab-akibat alamiah dan mengajarkannya untuk mencapai hasil melalui metode konduksi spiritualistic. Menurut pemikiran, hubungan alamiah sebab dengan akibat, sarana dengan tujuan, dihancurkan dan digantikan oleh hubungan denganguru sufi yang mampu menampakan karamah untuknya.
3.      Taabbud, kerelaan untuk meninggalkan aktivitas sosial dan ekonomi untuk melakukan ibadah spiritulistik sepenuhnya, dan komitmen untuk mencurahkan segenap energi untuk berdzikir menjadi tujuan utama. Sebenarnaya, Islam memerintakan pelaksanaan lima rukun Islam, tetapi Islam memerintahkan juga pelaksanaan khilafah dan amanat Tuhan.
4.      Tawakal, kepasrahan total pada faktor spiritual untuk menghasilkan hasil-hasil empiris, menggantikan keyakinan muslim terhadap kemujaraban yang pasti dari hokum Tuhan dalam alam dan dari keharusan mutlak campur tangan manusia kedalam rangkaian (nexus) sebab-akibat alam, jika tujuan yang diproyeksikannya akan direalisasikan.
5.      Qismat, penyetujuan secara sembunyi-sembunyi dan pasif terhadap hasil tindakan kekuatan di alam yang berubah-ubah mengantikan taklif, atau kewajiban manusia untuk merajut, memotong, dan membentuk ulang ruang-waktu untuk merealisasikan pola Ilahiyah di dalamnya. Bukannya Amanah, atau asumsi manusia terhadap maksud Ilahiyah untuk ruang-waktu sebagai alasan keberadaan pribadinya sendiri, tasawuf justru mengajarkan jalan pintas melalui dzikir dan memperbesar harapan untuk memanipulasi kekuatan adialam, yang membuka pintu bagi sihir, azimat, dan klenik.
6.      Fana’ dan Adam, bukan realitas, efemeralitas dan ketidakpentingan dunia, mengantikan keseriusan muslim menyangkut eksistensi. Ini menutupi kesadaran muslim akan status kosmisnya sebagai satu-satunya jembatan untuk merealisasikan kehendak Tuhan sebagai nilai moral dalam ruang dan waktu. Taswuf mengajarkan bahwa hidup didunia tak lain hanyalah perjalanan singkat menuju alam baka. Bertentangan dengan prinsip Islam bahwa realisasi akhir dari kemutlakan dalam ruang-waktu bukan satu-satunya kemungkinan pasti, melainkan tugas mulia manusia,tasawuf justru bahwa dunia bukanlah teater seperti itu, bahwa realisasi alam baka. Seperti kata Al-Ghazali, realisasi ini menepatkan dunia di luar akal dan pikiran waras.
7.      Taat, kepatuhan mutlak dan total kepada syekh dari salah satu tarekat sufi menggantikan tauhid, pengakuan bahwa tak ada Tuhan, kecuali Allah. Pencapaian pengalaman mistis meniadakan syariat atau pelaksanaan kewajiban sehari-hari dan kewajiban seumur hidup. Ini, bersama metafisika panteistik tasawuf, mengaburkan semua gagasan etika Islam.
Gejala-gejala ini merusak kesehatan masyarakat muslim selama paruh masa seribu tahun, sejak jatuhnya Baghdad ke tangan kaum Tatar pada 655/1257 sampai munculnya Wahhabiyah, gerakan pembaharuan antisufi pertama, pada 1159/1747. Di bawah pesona sufi, orang Muslim menjadi apolitis, asocial, amiliter, anetika, dan tidak produktif. Mereka tidak peduli umat (persaudaraan dunia di bawah hukum moral), menjadi individualis, dan menjadi egois yang tujuan utamanya adalah keselamatan diri, terserap dalam keagungan Tuhan.Dia tak bergeming dengan kesengsaraan, kemiskinan, dan keberataan masyarakat sendiri, serta nasib umat dalam sejarah.[25]
E.     Rekonstruksi terhadap Tasawuf
Ide rekonstruksi terhadap tasawuf salah satunya dapat ditemukan dalampemikiran Hasan Hanafi.Secara mendasar dia menolak tasawuf sertamemandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin (Hanafi, 2001: 24).
Tasawuf sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, anti arogansi, anti gilaterhadap kekuasaan dan anti kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partaioposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan Huseinmengalami kekalahan.Oleh karena itu, ketika kekuasaan dinasti Umayyah mulaimapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai penyebabperpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalahmenyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetapdalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan.
Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadigerakan vertikal, yang keluar dari kehidupan dunia.Cita-cita kesejarahan menjadicita-cita historis; dari milik seluruh umat, Islampun menjadi milik eksklusif jamaahtarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal dengan Tuhan (alittihad)secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnyatanpa mengubah dunia. Hanafi menuding bahwa menyelamatkan diri sendiri tanpamenyelamatkan orang lain adalah egoisme, kesucian jiwa tanpa kesucian duniaadalah naif dan destruktif. Kaum Muslimin menderita karena nilai-nilai negatif yangdikembangkan, seperti faqr (kemiskinan), khawf (ketakutan), dan al-ju’ (kelaparan).
Maka, kaum Muslimin benar-benar miskin, takut lapar dan mengalami krisis yangtak ada yang dapat melepaskan diri dari krisis itu (Hanafi, 2001: 67).Kaum Muslimin merasa sebagai "sebaik-baik umat yang dilahirkan untukmanusia" (khaira ummatin ukhrijat li al-nas), memilih peradaban tinggi yang pernahlahir dalam sejarah dan menjadi umat yang unggul, akan tetapi mereka tak mampumelakukan amar ma’ruf nahi munkar agar menjadi umat yang terbaik. Adapunekstase sesungguhnya adalah ekstase dalam karya dan berkorban untuk menegaskanmisi kemanusiaan manunggal (al-ittihad), yakni menerapkan syariat Islam danmembumikan wahyu dalam tatanan dunia secara aktif, melalui gerakan kaumMuslim dalam sejarah.
Atas pertimbangan di atas, Hanafi mencoba merekonstruksi tasawuf.Hanafi(2000: 44) mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari kebudayaanIslam.Ia merupakan salah satu dari empat besar ilmu rasional (‘aql) yang bersifattradisional (naql). Sesudah serangan yang dilancarkan al-Ghazali atas ilmu-ilmu rasional yang diwakili filsafat, yang melalui ilmu itu teologi mu’tazilah berhasilmenampilkan rasionalisme Islam selama empat abad, dari abad II hingga abad-VHijriyah, tasawuf menjalin hubungan dengan teologi tradisional, yakni Asy’ariyahyang mengambil alih semua ilmu Islam selama tujuh abad berikutnya dan sepanjangmasa kerajaan Usmaniyah hingga gerakan pembaharuan modern. Manurut Hanafi(2000: 44), tasawuf lahir dalam kondisi historis yang mengharuskan adanya upayauntuk menanggulangi kekalahan politik dan militer, yang telah disublimasikandalam kemenangan rohani, sehingga tasawuf seolah-olah tidak memiliki lagisentuhan makna sosiologis dan keduniawian yang secara nyata sedang dihadapi olehmanusia. Oleh karena itu, Hanafi berusaha merekonstruksi nilai mistik jenjang-jenjangmoral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak untuk membantugenerasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang sedang dihadapi.
Bagi Hanafi (2000: 42), tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan yangditerapkan secara terbalik, ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalammenghadapi pihak lain dengan meninggalkan dunia kekalahan untuk membina duniakemenangan, sehingga mudah membawanya kembali ke dunia. Tasawuf merupakansuatu jalan (tariqah) yang meliputi tiga tahap: tahap moral, tahap etiko-psikologisdan tahap metafisik (Hanafi, 1998: 40). Hanafi kemudian melakukan rekonstruksitasawuf dalam ketiga hal tersebut.
Pertama, rekonstruksi tahap moral.Dalam tahap moral, tasawuf munculsebagai ilmu etika yang bertujuan untuk menyempurnakan moral individu.Jikamasyarakat hilang, paling tidak individu dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahapmoral mencakup: a) Dari jiwa ke tubuh. Karena krisis permulaan yang merupakanawal timbulnya tasawuf disebabkan oleh nafsu serakah jiwa, maka tubuh tidakkurang parahnya dibandingkan jiwa.Jika semua masalah masa lampau dihubungkandengan jiwa, maka semua masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh; b) Darirohani ke jasmani.Tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai kompensasi atas dunia jasmani yang material.Segala hal memiliki makna ganda,karena realitas memiliki wajah ganda.Jika kekuasaan sosial politik merampaslahiriah, maka tasawuf mempertahankan batiniah.Dalam era pembangunan, yangdipertahankan adalah dunia lahir.Kekuasaan sosial politik yang mengontrol dunialahir dapat diubah, karena tidak ada pembangunan tanpa kekuasaan; c).Dari etikaindividu ke etika sosial.Salah satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah rusaknyaindividu.Maka reaksi alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagiindividu; d).Dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah caramemperoleh kekhusyu'an untuk mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipunberpendapat secara individual dipentingkan, namun sesungguhnya untuk duniasekarang tindakan terbuka sangat diperlukan untuk perubahan-perubahan; e). Dariorganisasi sufi ke gerakan sosio-politik.
Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis.Tahap ini mengandung artibahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke psikologis individual, dari ilmuperilaku ke psikologi murni nafsu manusia.Tasawuf tidak lagi berhubungan dengantindakan lahir perilaku melainkan tindakan batin kesalehan.Fokusnya bukan lagipada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada tindakan-tindakan hati.Kini,tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati.Ilmu ini terdiri dari duabagian; langkah-langkah moral (maqamat) dan kondisi-kondisi psikologis (ahwal).Rekonstruksi pada tahap ini mencakup dua hal, yaitu dari nilai pasif ke nilai aktifdan dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial.
Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa ketikasufi melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai padatahap terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya, karena sufi telahmelewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang. Tahap ketiga inibenar-benar merupakan buah yang harus dikumpulkan, hasil yang harus dicapai danhadiah yang harus diterima.
Namun demikian, tahap ini perlu direkonstruksi agar perkembangan tersebuttercapai dibumi. Rekonstruksi pada tahap ini mencakup pada empat hal: a). Darivertikal ke horizontal. Karena tasawuf telah mengarahkan diri ke arah yangtertinggi, maka sejak itu yang rendah bersikeras kepada kehendak murni, setelahdikuasai oleh kehendak tidak murni yang mudah untuk membawanya kembali untukturun ke bumi.Generasi sekarang paling tidak sedang mencoba menguasai kembalidunia.Tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan sebelumnya bermaksud untukdekolonisasi dan sekarang untuk pembangunan. Akan tetapi, tindakan-tindakan inimuncul terbatas, karena kesemuanya selalu menguap akibat digunakan di tempat-tempatlain.
Jika vertikal ditransformasikan kembali ke bawah, tindakan-tindakan inimungkin bersifat konklusif dan produktif (Shibab, 1998: 59). Jika gerakan di jalansufi bermula dari luar (tahap moral) ke dalam (tahap etiko-psikologi) dan lalu keyang tertinggi (kepercayaan metafisik), maka gerakan dalam pebangunan bermuladari yang tertinggi (perencanaan) ke dalam (pengelolaan) dan selanjutnya ke luar(pencapaian). Jika bumi pada masa kelahiran tasawuf putus asa dan diperbandingkan dengan langit, sekarang negara-negara sedang berkembang mencoba menaklukkkan bumi lagi (Abdurrahman, 2003: 18).
Pada saat yang bersamaan, Tuhan adalah Tuhan langit dan bumi.Tanahmesti muncul dari inti tradisi sebagai manifestasi utamanya, yakni apakah untukdekolonisasi atau untuk bekerja; b).Dari langkah moral ke periode sejarah.Karenalangkah-langkah moral merupakan tahap-tahap periodik di jalan pengawasan,mungkinkah menyusun langkah-langkah moral ini sebagai periode sejarah yangprogresif? Dalam tasawuf, terdapat apa yang benar-benar diperlukan pembangunan.:mobilitas, perubahan, periodisasi, kesempurnaan, rasa keharusan mengikutipedoman, kemunduran, kesudahan, nafsu, komitmen, perjuangan, harapanmemperoleh keberhasilan dan sebagainya. Ini hanya masalah pengalihan hubungan depan-belakang; c). Dari dunia ini ke dunia lain. Tasawuf pada mulanya merupakanreaksi terhadap kekalahan kesalehan, sementara kebenaran dunia lain merupakantempat perlindungan yang terakhir, yang tak dapat dicapai oleh ketidak salehan dankebatilah di dunia. Karena kehidupan yang lurus di bumi pada hakekatnya tidak ada,maka yang saleh pun meninggal dalam keadaan syahid, sebagai kehidupan abadiyang kekal bagi mereka.
Namun demikian kondisi modern ini lebih banyakberhubungan dengan kehidupan daripada kematian.Kondisi ini lebih banyakberhubungan dengan para penghuni di luar kubur di wilayah-wilayah pembangunan urban kota-kota besar; d).Dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata.Akibatkekalahan kesalehan dan kemenangan ketidaksalehan, maka terjadi pemisahanantara cita-cita dan kenyataan.Kesatuan antara keduanya menjadi sekedar harapandan impian yang diteruskan di dalam tasawuf (Fariza, 2003: 55).
Kaum sufi memberikan beberapa kesan untuk mengungkapkan kesatuan ini,yakni misalnya, antara Tuhan dan dunia, kebenaran dan realitas, rohani dan alamdan sebagainya. Maksud dan tujuan akhir tasawuf adalah kesatuan dan penyatuanyang berhubungan dengan tauhid, yang merupakan dasar dalam keimanan Islam.
Mengapa tidak beralih dari kesatuan khayali antara cita-cita dan kenyataan kepenyatuan nyata masyarakat Islam, untuk merobohkan rintangan-rintangan artifisialyang dihadapi sebagai upaya peralihan dari era kolonial?Jawabannya, metafisikkesatuan dalam tasawuf dapat memainkan peranan sangat penting untuk mecapaikesatuan sebagai tujuan politik.Panteisme dapat direkonstruksi sebagai kerangkakonseptual bagi Pan-Islamisme (Shibab, 1998: 56).
Dilihat dari uraian diatas tampak dengan jelas bahwa rekonstruksi yangdilakukan Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang sangat tinggi.Pemikiran initampaknya lahir dari kesadaran yang sangat penuh atas posisi kaum Muslimin yangsedang terbelakang, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap bangunanpemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebesan.
Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan (Abdullah, 1996: 87).Sebagaicendikiawan, Hanafi berusaha menawarkan suatu bentuk transformasi pengetahuan yang diperolehnya sebagai akibat dari interaksi akademis yang cukup dalam antarawilayah internal timur Hassan Hanafi dengan tradisi intelektual Barat.Hanafidengan sangat berani mengadopsi tradisi filsafat materialisme-dialektis, yang dalamdunia Islam dianggap sebagai ancaman bagi keberhasilan kehidupan spiritual.Namun demikian, Hanafi tidak semata-mata memakai analisa filsafat materialisme.

BAB IV
Penutup
 A.    Kesimpulan

Dari uraian diatas bahwa tasawuf merupakan kebudayaan Islam, namun dengan perubahan zaman tasawuf banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Ini merupakan aspek gejala sosial yang berbahaya bagi para muslim didunia.
Sehingga menimbulkan kritik terhadap tasawuf yang  berlatar belakang insiden jejak yang terjadi pada permulaan abad ke-4 H, ketika aliran-aliran kebatinan, Syi’ah, Qaramithah, dan kafir zindik memanfaatkan tarekat-tarekat sufisme. Mereka menyebabkan Islam berada pada kondisi yang berbahaya, tetapi sesungguhnya tak ada kelemahan bagi orang sufi. Kejadian itu Ialah Ibnu Saba’, orang berdarah Yahudi memanfaatkan cinta Ahl Al-Bait sebagai tipu daya. Dia menyebarkan benih fitnah dan perang sipil yang menyebabkan wafatnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. dan gugurnya sekitar 10.000 orang sahabat dantabi’in sebagai syahid. Apakah peristiwa tersebut ada kelalaian Ahl Al-Bait dan kecintaan terhadap Ali r.a.? jawabannya tentu tidak. Demikian pula, paham tasawufvtidak boleh dicemari dengannya.Tasawuf taka da kaitannya dengan fitnah tersebut.[26]
 DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, terj. Khairul Amru Harahap, Lc. Dan Afrizal Lubis, Lc. Qisthi Press, Jakarta, 2005.
Aceh, Abubakar, 1985, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani.
---------------------, 1984,Pengantar Sejarah Sufi Dan Tasawuf, Solo: Ramadhani.
Annemarie Schimel, Dimensi Mistik dalam Islam., terj. Supardi Djoko Damono dkk., dari Mystical Dimension of  Islam (1975), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986.
Anwar Rosihon dkk, Ilmu Tasawuf, Penerbit: CV Pustaka Setia, Bandung, 2008.
At-Taftazani, Abu el Wafa, 1997, “Peran Sufisme Dalam Masyarakat Modern” Dalam Mukti Ali, Agama dan Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Tiara Wacana Press, Yogyakarta,
Burhani, Ahmad Najib, 2002.,Tarekat Tanpa Tarekat : Jalan Baru Menjadi Sufi, Serambi, Jakarta
HAMKA, 1978, Tasawuf: Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan NurulIslam.
Harun Nasution, “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar Rahman, (Ed.), Konstekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
Ibn Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 11,Dar Al-Wafa’, Kaherah, 2002.
Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, Dar An-Nahdhah Al-‘Arabiyah, Kairo, 1979.
Ihsan Ilahi Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf: Latar Belakang Kesesatan Kaum Sufi, terj. Fadhli Bahri, Darul Falah, Jakarta, 2001.
Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, 2000.
Jhon O. Voll, “Tarekat-Tarekat Sufi”, dalam John L. Esposition, Ensiklopedi Oxford….,2001.
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1948.
Nasir, Haedar, 1997, Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syar’i: Kritik Atas Kritik, terj. M. Yaniyullah, Penerbit Hikmah, Jakarta,2003.
Shihab, Alwi, 2001, Al-Tashawwuf Al-Islami Wa Atsaruhu Fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al'Mu' Ashir , Terj. Islam Sufistik: "Islam Pertama" Dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia, Bandung: Penerbit: Mizan.
Taimiyah, Ibn, 1986, Tasawuf Dan Kritik Terhadap Filsafat Tasawuf, Terj. Aswadi Syukur, Surabaya: Bina Ilmu.
William C. Chittick, Pemikiran Dan Praktek Sufi, dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jilid 5, cet. I, terj. Eva Y.N dkk, Mizan, Bandung , 2001.
Zachner, RC., 1969, Hindu And Muslim Mysticism, New York: Socke Book.




[1] Anwar Rosihon dkk, Ilmu Tasawuf, Penerbit: CV Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal. 227.
[2]William C. Chittick, Pemikiran Dan Praktek Sufi, dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jilid 5, cet. I, terj. Eva Y.N dkk, Mizan, Bandung , 2001, hal. 208.
[3]Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syar’i: Kritik Atas Kritik, terj. M. Yaniyullah, Penerbit Hikmah, Jakarta,2003, hal. 33.
[4]Ibid., hal. 34-35
[5]Ibid., hal. 35
[6] Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama Islam pada masanya. Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial.
[7]Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis ( يلمعلا ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis ( يرطنلا ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
[8] Lihat Ihsan Ilahi Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf: Latar Belakang Kesesatan Kaum Sufi, terj. Fadhli Bahri, Darul Falah, Jakarta, 2001.
[9] Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, Dar An-Nahdhah Al-‘Arabiyah, Kairo, 1979, hal. 32.
[10] Harun Nasution, “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar Rahman, (Ed.), Konstekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, hal. 187; Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1948, hal. 187.
[11] Nasution, “Tasawuf”, hal. 178.
[12]Ibn Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 11,Dar Al-Wafa’, Kaherah, 2002, hal. 215.
[13] Steenbrink, Beberapa Aspek….., hal. 184-185
[14]Jhon O. Voll, “Tarekat-Tarekat Sufi”, dalam John L. Esposition, Ensiklopedi Oxford….,2001, hal. 223.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Annemarie Schimel, Dimensi Mistik dalam Islam., terj. Supardi Djoko Damono dkk., dari Mystical Dimension of  Islam (1975), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hal. 243.
[18] Anwar Rosihon dkk, Ilmu Tasawuf, Penerbit: CV Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal. 234.
[19] Ibid.
[20] Ali, Tasawuf syar’i….., hal. 58.
[21] Ibid.
[22] ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, terj. Khairul Amru Harahap, Lc. Dan Afrizal Lubis, Lc. Qisthi Press, Jakarta, 2005, hal 393.
[23]Ibid., hal. 394-395.
[24]Ibid., 394.
[25]Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, 2000,
hal. 334-336.
[26]Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syar’i: Kritik Atas Kritik, terj. M. Yaniyullah, Penerbit Hikmah, Jakarta,2003, hal. 33.