BAB
I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Realitas
kehidupan manusia akhir-akhir ini apabila dicermati telah mengalami
kejenuhan-kejenuhan yang pada tingkat tertentu mengakibatkan manusia mengambil
tindakan yang oleh rasionalitas dianggap sangat mustahil. Ini terefleksi
setidaknya dengan memperhatikan peristiwa bunuh diri massal atas nama agama
serta fenomena kekerasan yang menjadi kecenderungan akhir-akhir ini. Dari kedua
hal itu, bisa dipahami bahwa kehidupan
kemanusiaan mengalami sebuah tantangan besar untuk mempertahankan
eksistensinya. Tantangan tersebut bukanlah merupakan suatu ancaman, tetapi
realitas yang harus disikapi dan dihadapi.Apabila diformulasikan tantangan
kemanusiaan tersebut mengarah pada dua hal yaitu krisis modernitas dan krisis
pemahaman agama.
Tasawuf, yang di kalangan Barat dikenal dengan mistisme Islam,
merupakan salah satu aspek (esosteris)
Islam, sebagai perwujudan dari ihsan
yang berati kesadaran adanya komunikasi
dan dialog lansung seorang hamba dengan
Tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan
Rosululloh SAW, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman merupakan hasil kebudayaan
Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnyaseperti fiqh dan ilmu tauhid.Oleh
karena itu tasawuf―seperti halnya ilmu-ilmu lainya―tidak terlepas
darikritikan-kritikandari berbagai golongan yang menentangnya.[1]
Serangan berulang-ulang ditujukan pada tasawuf dalam sejarah Islam memiliki banyak penyebab.
Tidak sedikit diantara penyebabini berupa pengaruh sosial dan politik para guru
sufi, yang sering mengancam kekuasaan serta hak-hak istimewa para ahli hokum
dan bahkan penguasa. Walaupun otoritas-otoritas besar sufi telah meletakan
banyak garis pemandu untuk menjaga agar tasawuf agar tepat berada dalam jantung
tradisi Islam, gerakan keagamaan rakyat yang yang ditujukan untuk
mengintensifkan pengalamam keagamaan dan mempunyai sedikit kepedulian terhadap
norma-norma Islamjuga dikaitkan dengan tasawuf. Tak peduli apakah para anggota
gerakan-gerakan ini menganggap diri mereka sufi ataukah tidak, yang jelas para
penentang sufisme meras beruntung dapat mengklaim bahwa ekses-ekses yang
ditimbukan oleh anggota gerakan tersebut mewakili sifat tasawuf .
Otoritas-otoritas sufi sendiri sering mengkritik sufi yang keliru, dan
bahaya-bahaya yang dihubungkan dengan ketiadaan kontak dengan intiahistoris
sufisme hanya dapat meningkat manakala sebagian besar tasawuf kemudian
terlembagakan melalui tarekat-terekat sufi.[2]
Menurut Sayyid Nur bin Sayyid Ali, kritik terhadap tasawuf berlatar
belakang insiden jejak yang terjadi pada permulaan abad ke-4 H, ketika
aliran-aliran kebatinan, Syi’ah, Qaramithah, dan kafir zindik memanfaatkan
tarekat-tarekat sufisme. Mereka menyebabkan Islam berada pada kondisi yang
berbahaya, tetapi sesungguhnya tak ada kelemahan bagi orang sufi. Kejadian itu
Ialah Ibnu Saba’, orang berdarah Yahudi memanfaatkan cinta Ahl Al-Bait sebagai
tipu daya. Dia menyebarkan benih fitnah dan perang sipil yang menyebabkan
wafatnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. dan gugurnya sekitar 10.000 orang sahabat
dantabi’in sebagai syahid. Apakah peristiwa tersebut ada kelalaian Ahl Al-Bait
dan kecintaan terhadap Ali r.a.? jawabannya tentu tidak. Demikian pula, paham
tasawufvtidak boleh dicemari dengannya.Tasawuf taka da kaitannya dengan fitnah
tersebut.[3]
Pada permualaan abad ke-7 H, sekelompok kafir zindik dan ahli-ahli
bid’ah menyelinap masuk kebarisan orang-orangberpaham sufi. Oleh karena itu,
mereka menebarkan akidah-akidahsyirikndan perbuatan-perbuatanbid’ah atas nama
perbuatan-perbuatan bid’ah atas nama agama, misalnya :
1.
Para nabi dan wali itu dapat melihat kealam kuburmughayabat(alam gaib).
2.
Para wali itu dapat mengubah urusan-urusan penciptaan.
3.
Para wali itu dapat mendengarkan panggilan-panggilan dikuburan dan
memiliki gudang rahmat Allah SWT.
4.
Para wali itu dapat menolong dan membukakan kesulitan serta menolak
keputusan Allah (qodho).
5.
Mendirikan masjid-masjid dan kubah diatas kuburan para wali.
6.
Berziarah kubur serta mengagungkannya dengan bersujud dan memohon
dipenuhi kebutuhan kepada pemilik kuburan.
7.
Berpergian kekuburan-kuburan para wali dengan tujuan-tujuan ber-taqarrub dan berdoa dari sana.
8.
Menyampaikan nazar dan hadiah kepada kuburan dan dihadapan para
wali.
9.
Mengadakan majelis-majelis dan perayaan-perayaan bulanan dan
tahunan dikuburan atas nama pembukaandari sepasang pengantin, mengupas zakar
mitan, dan mencari berkah. Mereka menyembelih sapi, kerbau, dan kambing atas
nama para wali sebagai taqarub kepada mereka dan disana bercampur antara
laki-laki dan perempuan.
10.
Membolehkan tamborin atau rebana, berdansa, dan seruling, seruling
penghangatan atas nama dzikirdan pertemuan-pertemuan tradisi.
11.
Menyelenggarakan perayaan-perayaan atas nama ulang tahun kelahiran (milad) dan biografi Nabi pada tanggal
12 Rabi Al-Awwal.
12.
Membuat shighat shalawat
dan kalimat-kalimat dzikir dari hasil mereka sendiri.
13.
Menyia-nyiakan Al-Quran dan As-Sunnah, serta mencintai
hikayat-hikayat dan keramat-keramat yang indah.
14.
Menggugurkan taklif
syar’iyyah (tuntutan syara’) dari diri mereka dengan dalih telah sampai
kepada tujuan dan hujjah-hujjah yang indah, serta dengan dalih ilmu-ilmu
terpendam dan rahasia-rahasia yang diwariskan.
15.
Akidah batil al-ittihād
(penyatuan wujud dengan Tuhan),al-hulūl
(menempati Dzat Tuhan), atau wahdat al-wuju̅d
(kesatuan wujud dengan Tuhan).[4]
Mereka yang tersesat lagi bodoh tersebut menisbatkan kebohongan dan
kesesatan-kesesatannya kepada paham sufi yang benar. Hal itu karena sirkulasi
kesesatan mereka dan untuk menyesatkan orang awam. Janganlah menafsirkan
reputasi paham sufi dengan kesesatan mereka yang sesat dan ahli bid’ah.[5]
B. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis mengangkat sebuah masalah,
yaitu :
·
Kritik benar dan salah terhadap aliran tasawuf.
C.
Maksud dan Tujuan
Sesuai dengan
permasalahan di atas, tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap,Maksud
dan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui letak kebenaran dan
kesalahan terhadap kritik-kritik yang ditujukan pada tasawuf.
BAB II
Landasan Teori
A.
Diskripsi Tentang Berbagai Pemahaman Tentang Tasawuf Dan Tarekat
Tasawuf[6]
merupakan praktik spiritual dalam tradisi Islam.Tasawuf memandang ruh sebagai
puncak dari segala realitas, sementara jasad tidak lebih sebagai “kendaraan”
saja (Aceh, 1984: 28).Oleh sebab itu, jalan spiritualitas lebih banyak
menekankan pada aspek ruhani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman
yang juga bersifat personal.Berbeda dengan agama yang bersifat umum (dalam
Islam di kenal dengan istilah sya’riah/syari’at), jalan tasawuf kemudian
dikenal dengan istilah tarekat (dekat dengan istilah tirakat). Dalam perspektip
tarekat setiap pendaki akan melewati level dan kondisi (maqomat dan ahwal)
di bawah bimbingan guru spiritual (dalam Islam dikenal dengan istilah Mursyid)
(Arberry, 1979: 84). Di antara satu guru dengan guru yang lain sangat
dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda.
Murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb).Ada
yang menyebut istilah ini dengan Mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri
(menghadirkan) atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid dilatih
membersihkan diri melalui tarekat tadi dengan menempuh dari level tertentu ke
level yang lebih tinggi, dari kondisi tertentu ke kondisi yang lebih yang lain,
hingga murid mampu mencapai tingkatan fana (kosong/hampa) tidak ada lagi
ego dalam diri murid sehingga murid sampai pada sebuah kondisi “tersingkap”,
“menghadirkan”, atau “berhadap-hadapan” (Nicholson, 1979: 30).
Disinilah antara tasawuf moral dan tasawuf falsafi berbeda jalan.
Tasawuf moral, setelah melewati fase tadi, mengajak “kembali” sang murid untuk
hidup dalam dunia “nyata” dan kembali masuk dalam aturan syariat, namun syariat
yang telah diisi dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan, sehingga syariat
yang dijalankan akan lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan
perjalanan. Misalnya, sang murid sudah mengerti apa hakikat sholat, puasa dan
zakat lalu bisa mempraktikannya dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid
sudah mengerti bahwa pada sisi yang paling esoterik semua agama memiliki tujuan
yang sama sehingga mampu untuk hidup toleran serta tidak memperbesar perbedaan
sisi eksoterik satu agama dengan agama yang lain. Sang murid sudah mengerti
bagaimana cara bergaul dan menghargai antara sesama manusia bahkan seluruh
makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana ia berasal dan kemana ia
akan kembali (Zuhri, 1979: 30).
Berbeda dengan tasawuf falsafi. Setelah sampai pada fase tersebut,
sang murid atau bahkan sang guru, tidak mau “pulang”, tetapi mau tetap
menikmati ekstase keindahan dan kenikmatan “bersatu” dengan Tuhan
(Nicholson, 1979: 30). Terucaplah perkataan yang tidak terkontrol tadi (syathohat)
dalam kondisi ekstase.Dari sinilah akhirnya terucap pengakuan sebagai
“Sang Kebenaran” atau memuji dirinya sendiri sebagai Tuhan, atau menuangkan
pengalaman bertuhannya dalam karya/tulisan (Bazsur Ilahi, 1986: 99). Di level
sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul khawas)
mungkin tidak menjadi persoalan, tetapi bagaimana di kalangan awam yang memang
hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf?
Disinilah problem selanjutnya muncul. Mau tidak mau, atas nama
menjaga kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan
alasan-alasan yang sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini diklaim
sesat dan berakhir dengan hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul
(terbunuh), Abu Mansyur Al-Hallaj dan Ainul Qudhat Hamadani adalah sufi
falsafi yang hidupnya berakhir dengan hukuman mati. Bahkan Syuhrawardi dan
Ainul Qudhat dihukum mati dalam usia yang cukup muda. Apa yang terjadi dengan
Syekh Siti Djenar (jika kisah ini juga memang benar dan bukan sebagai mitos
serta terlepas dari persoalan politik) adalah termasuk dalam kategori ini.
Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim kaum sufi yang juga
diperdebatkan dikalangan teologis dan ahli fikih, bahkan bagi sebagian kalangan
Islam yang agak keras, praktik tasawuf dianggap bid’ah (Fauzan, 1998:
39).
Apa yang dicontohkan Al-Ghazali dan Jalaludin Rumi yaitu untuk
segera pulang setelah bertemu Tuhan, bisa menjadi teladan yang baik bagi para
praktisi tasawuf dewasa ini. Al-Ghazali menghiasi syariat yang kaku dengan
nilai-nilai hakikat, atau Rumi yang sengekspresikan kebahagian dan rasa cinta
serta rindu kepada Tuhan melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan dll) yang
terlukiskan dalam karya sastra.
Mungkin tidak mudah untuk serta merta diterima oleh rasio karena
memang tasawuf tidak menggunakan “alat ukur” rasionalitas. Tasawuf menggunakan
alat ukur yang berbeda yang bernama “ainul qolb” (mata batin) yang
diyakini juga ada dalam diri setiap manusia yang kadang sepintas ia “muncul”
dan kita tidak mengenalinya lalu “tertutup” lagi oleh potensi lain dalam diri kita
(Aceh, 1984: 28).
a.
Deskripsi Tentang Tasawuf
Sebagai pengantar kajian tentang tasawuf alangkah baiknya kita
simak pendapat Wahid B. Rabbani yang menyatakan:
Sufisme and science are striving for the same destination. Science
wants to know: how did the universe come into being and what is its nature? Is
there any creator? What is He like? Where is He? How is He related to the
universe? How is He related to the man? Is it possible for man to approach Him?
Sufi has found the answers and invite the scientist to come and have that
knowledge (Rabbani:1995,
1).
Kutipan diatas adalah sebuah ilustrasi yang memberitahu kepada kita
bahwa tasawuf (dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah sufisme,
tasawuf dan mistisisme secara bergantian untuk maksud yang sama) adalah suatu
hal yang sangat penting. Bukan hanya dalam konteks sebagai entitas dari ajaran
Islam karena ia adalah innerdimension of the Islamic relevation (Nasr,
1980: 31), namun lebih dari itu sufisme menjadi hal yang sangat utama dalam
rangka pencarian terhadap makna hidup yang bersifat universal dan perennial
(Lings, 1993: 22-23).
Tasawuf dalam hal ini dapat disandingkan dengan ilmu pengetahuan (sains)
dalam upaya mencari cara pandang terhadap kehidupan. Oleh sebab itu tidak heran
apabila, dalam tradisi Islam, tasawuf menjadi fenomena yang sangat complicated
dan penuh dengan dinamika. Historisitas Islam sangatlah dipengaruhi akan
keberadaan mistisisme baik sejak awal berdirinya agama ini sampai saat
sekarang. Tasawuf dalam sejarah Islam mengalami perkembangan dan modifikasi
yang sangat variatif, maka tidak heran apabila dalam setiap periode sejarah
umat Islam, selalu muncul para tokoh sufi dan kelompok-kelompok sufi (sufi
orde) pada hampir seluruh wilayah umat Islam.
Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah
sekaligus batiniah.Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat
(aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu,
shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik).Tasawuf merupakan salah satu
bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan
aspek batiniah manusia (Aceh, 1984: 28) yang dapat menghidupkan kegairahan
akhlak yang mulia.Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa
dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa).Upaya inilah yang
kemudian diteorisasikan dalam tahapantahapan pengendalian diri dan
disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai
pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh
kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan),
atau fana’ (peniadaan diri).
Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang
dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku
hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa
mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf
merujuk pada dua hal: penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan pendekatan
diri (muraqabah) kepada Allah (Umari, 1961: 123).
Sesungguhnya tasawuf secara formal belum dikenal pada zaman Nabi
Muhammad.Istilah ini secara tehnis baru berkembang setelah abad kedua hijriah
(Basyuni, 1960: 111).Pendapat ini diamini dari Saleh Fauzan (1998: 1).
Menurutnya kata tasawuf dan sufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal
(ada) setelah itu atau masuk kedalam Islam dari umat-umat yang hidup di
belakang hari. Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya dituliskan:
“Adapun kata sufi tidak dikenal di 3 masa yang utama ( shahabat, tabi’in,
tabi’it tabi’in) dan hanya dikenal setelah masa itu” (dalam Fauzan, 1998:
1). Hal ini banyak dinukil oleh para imam, seperti Imam Ahmad bin Hambal dan
Abu Sulaiman Ad-Darani. Lebih lanjut Saleh Fauzan menjelaskan.
Dan Sufi itu tidak ada dalam Islam.Ada yang mengatakan bahwa
asalnya adalah dari kata Shuuf (bulu domba) dan inilah yang terkenal di
kalangan banyak orang. Dan sufi yang pertama muncul adalah dinegeri Basrah.
Orang yang pertama kali mengadakan gerakan sufi ini adalah sebagian dari
sahabat Abdul Wahid bin Zaid, ia adalah seorang sahabat Al Hasan Al Basri. Ia
(Abdul Wahid) populer di Basrah dengan sifatnya yang keterlaluan dalam zuhud,
ibadah, rasa takut dll. Tidak ada penduduk kota itu yang seperti dia. Abu
Syaikh telah meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Muhammad bin Sirin bahwa
telah sampai berita kepadanya tentang sebagian kaum yang lebih mengutamakan
pakaian dari bulu domba. Ia berkata: “sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih
mengutamakan memakai pakaian bulu domba. Mereka mengatakan ingin meniru pakaian
Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita lebih kita cintai. Nabi juga
memakai pakaian dari katun dan lain-lain, atau komentar yang senada dengan itu
(Fauzan: 1998, 1).
Para peneliti pemikiran keislaman berbeda pendapat mengenai asal
mula kata al tasawuf. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ia berasal
dari kata shaf yang berarti baju dari bulu domba kasar yang biasa
dipakai oleh orang saleh yang tidak lagi menghiraukan kehidupan dunia. Sebagian
yang lain berpendapat berasal dari shafa yang berarti bersih dan suci
karena orang sufi senantiasa membuat lahir batinnya dalam keadaan suci.
Sebagian yang lain ada yang menyandarkannya kepada al-shuffat yaitu
serambi masjid tempat Rosulullah mengajar dan tempat ibadah sahabat yang
terkenal keshalihannya seperti Abu Zar al-Ghifari, sedangkan ada yang lain
namun minoritas yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani shopos
(Hidayat, 2003: 542).
Secara etimologis, tasawuf setidaknya dapat dirujuk dari tujuh kata
asal yaitu: shafa (suci), saff (barisan shalat), saufanah (buah-buahan
kecil berbulu yang banyak dijumpai dipadang pasir), safwah (yang
terbaik), suf (bulu domba kasar), theosophy (hikmat ketuhanan)
dan shuffah,.Menurut Al-Kalabazi (1969: 1), kata shuffah, dapat
dipahami dalam dua pengertian yaitu pelana kuda yang dipergunakan oleh para
sahabat nabi untuk bantal tidur disamping masjid nabawi atau juga dapat
dipahami sebagai suatu kamar di serambi Masjid Nabawi yang ditempati oleh
beberapa sahabat Anshar. Pendapat Al-Kalabazi ini dipertanyakan oleh Mir Valiuddin
(1987: 2) menurutnya jika memang asal kata tasawuf berasal dari shuffah maka
panggilan bagi pelaku tasawuf bukannya sufimelainkan shuffi.
Pendapat Al- Kalabazi mendapat penegasan dari Al-suhrawardi (1985: 445) yang
mengatakan “mekipun secara ilmu bahasa tasawuf berasal dari kata shuffah,
namun secara maknawi dapat dibenarkan”.
Dari berbagai istilah itu ada kecenderungan bahwa tasawuf berasal
dari kata shuff.Kelompok yang mendukung pendapat ini adalah Al
Suhrawardi (1985: 326), dengan beberapa alasan: pertama, didasarkan pada hadis
dari Anas yang menyatakan Rasulullah mendatangi undangan hamba sahaya naik
Himar dan memakai pakaian bulu domba. Serta didasarkan pada pernyataan hasan
Basri yang pada intinya dia telah bertemu tujuh puluh pasukan badar yang
mengenakan pakaian bulu domba.Pendapat ini juga disetujuai oleh HAR.Gibb (1964:
110), menurutnya sebutan mutashawwif diperuntukkan bagi orang yang
memakai pakaian dari bulu domba dan perilakunya disebut tasawuf.Lebih lanjut
menurutnya, secara histories asal mula pakaian bulu domba ini sebagai lambang
penebusan dosa seseorang yang diidentikkan dengan pakaian Isa (Gibb: 1964,
110). Dukungan juga diberikan oleh Ibnu Khaldun (tt: 370-371) dan Noldeke,
sebagaimana dikutip oleh Nicholson (1975: 3-4) dia menjelaskan bahwa sebutan shuff
awalnya dinisbatkan kepada orang-orang Islam yang hidup asketis, meniru
kehidupan para biarawan Nasrani yang biasanya mengenakan pakaian dari anyaman
bulu domba yang kasar sebagai tanda tobat dan niat yang kuat untuk
meninggalkan kehidupan duniawi.
Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa inti dari perbedaan
pendapat mengenai asal kata tasawuf bermula dari perbedaan sudut pandang. Ada
kelompok yang menitikberatkan pada aspek lahiriah yaitu pakaian yang dipakai
oleh pelaku tasawuf (shuf) sedangkan kelompok yang lain menekankan pada
aspek batiniah yaitu kondisi jiwa yang bersih dari sifat-sifat tercela (shafa),
sedangkan yang lain menitikberatkan pada aspek perilaku yaitu adanya kesamaan
amaliah antara ahli tasawuf dengan ahli shuffah dan juga kebanyakan ahli
tasawuf selalu berpuasa dan bangun malam melaksanakan sholat malam sehingga
badannya kurus seperti pohon shufanah.
Secara terminologis, istilah tasawuf diungkapkan secara beragam,
Junaid al Baghdady berpendapat bahwa tasawuf adalah penyerahan kehendak dan
tujuan hanya kepada Allah bukan kepada yang lain (dalam Zachner, 1969: 46).
Untuk mencapai sebuah penyerahan kehendak dan tujuan secara total kepada Allah
mensyaratkan adanya proses pembersihan terhadap hati, karena hati adalah bagian
dari Tuhan. Oleh sebab itu esensi dari tasawuf sesungguhnya adalah penyucian
hati dari segala kotoran dan entitas-entitas keduniawian. Penyucian jiwa ini
akan berdampak pada kedamaian dan kesejukan karena kehadiran Tuhan senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Dari sini dapat dipahami bahwa pada
dasarnya tasawuf memuat dua entitas penting yaitu, pertama: kesucian jiwa untuk
menghadap Tuhan sebagai zat yang maha suci dan kedua: upaya pendekatan diri
secara individual kepada-Nya (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2004: 307).
Secara terminology, definisi tentang tasawuf juga dapat dirujuk
dari banyak tokoh. Menurut Abu Qosim Abdul Karim al-Qusyairi (tt: 56-57),
tasawuf adalah menjabarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan
nafsu, menjahui perbuatan Bid’ah, mengendalikan syahwat dan menghindari
sikap meringankan ibadah. Menurut Ma’ruf ak-Karkhi sebagaimana dikutip oleh
Al-Syuhrawardi (1985: 326) tasawuf adalah mengambil hakekat dan tidak tamak
dari apa yang dimiliki oleh makhluk. Menurut al-Nuri sebagaimana dikutip oleh
Ibrahim Basuni (1969: 18), tasawuf adalah akhlak mulia.Abu Wafa al-Ghanimi
al-Taftazani (1974: 3-12) mendefinisikan tasawuf sebagai sikap menempuh
kehidupan zuhud, menghindarkan diri dari kehidupan duniawi, melakukan
berbagai macam ibadah, melemahkan dimesndi jasmani dan memperkuat dimensi
ruhani.
Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa tasawuf
merupakan perilaku yang dilandasi oleh akhlak mulia, mampu mengisi waktu yang
ada untuk beribadah kepada Allah dan menghindarkan diri dari semua perbuatan
tercela.Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan
jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga
kehadiran- Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn
al-Khaldun (1966: 231)
Secara histories lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor:
(1) reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2)
perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek
moral-spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara
politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan (Al-Afifi, 1989: 30).
Oleh karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan
yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah.
Menurut Hamka (1978: 75), kehidupan sufistik sebenarnya lahir
bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri, sebab ia tumbuh dan berkembang dari
pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan
Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis.Hanya saja sebagian
ulama belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari
kehidupan dunia dan masyarakat.Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai
pelarian dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam
fitnah yang terjadi di tengah-tengah umat.Mereka yang memilih sikap uzlah ini
sering mencari-cari pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman
Allah. Padahal dapat diketahui bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama
sekali tidak melakukan praktek kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah.
Mereka tidak lari dari kehidupan actual umat, tetapi justru terlibat aktif
mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar menjadi lebih baik dan sesuai dengan
cita-cita ideal Islam ((Hamka: 1978, 76).
Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang
sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian.Tetapi tasawuf dapat
berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam
pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman.Seperti diungkap R.A. Nicholson
(1979: 23), bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk mistisisme yang
dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan
Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja.
Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung
mendeskripsikan langkahlangkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path).
Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the via
contemplativa, dan the via illuminative (Russel, 1927: 28). Hal serupa ada
pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’a, tariqa, dan haqiqa (Valiuddin,
1981: 56). Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang
menuntut disiplin laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para
salik menemukan kesucian jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada
para pencari Tuhan, yaitu orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub)
untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam
tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik
pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya
sering terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: taubat, zuhud,
sabar, tawakkal, ridha, mahabbah, ma’rifah, fana’, ittihad, hulul. Selain maqam,
tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state)
yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah
atas riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan
tertentu terkadang terjadi hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga
relatif cukup lama (bawadih), bahkan jika hal tersebut sudah terkondisi
dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal.
Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai
berikut: muraqabah, khauf, dan raja’, Syauq, Uns, tuma’ninah, musyahadah,
dan yakin (Nasution, 1974: 79).
Dalam wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau
membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk
membersihkan hati seseorang, sedangkan tahalli bi al-fadail atau
menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah tangga berikutnya untuk mencapai
tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli.Jadi disini,
tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal pada syariat (dari kata syari’=jalan utama) (Triminghan,
1971: 51).
b.
Deskripsi tentang Kemunculan Tasawuf
Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad
ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan
istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut
juga Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru
muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh
al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa
cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh
melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan
keutamaan dari-Nya.Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran
hakiki.Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di
dunia Islam (Al-Taftazani, 1979: 72).
Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti
(w.253 H), al-Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).Tasawuf
kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad ke-4 H
dengan sistem ajaran yang semakin mapan.Belakangan, al- Ghazali menegaskan
tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang
memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam.Pada abad ke-4
dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para
fuqaha’.Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang
dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan
menyelisihi aturan-aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad
berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan
tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad
ke-7 H .
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam
dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf
nazari (teoritis). Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni
atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur’an dan
al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara
ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut
tasawuf falsafi[7]
cenderung menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara
filsafat dengan ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap
sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M),
al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996),
Abu al-Qasim Abu al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112).
Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu
Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131),
al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi.
Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi
terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi
secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur
pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap
kehidupan urban dan kemewahan; (2) masuknya gnostisisme Helenisme yang
mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3)
masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti
dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari
tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf
al-hijab dan (3) bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan
antara Tuhan dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti:
merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun
penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat:
(1) sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat
muslim; (2) sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentukbentuk
kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak
semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas
pada kemakmuran yang melimpah ruah.Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya
hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena
kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar
al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari
perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman
doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi
kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka
(Effendi, 1993: 34). Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca
melalui tiga tahapan berikut: (1) khanaqah, yakni terbentuknya komunitas
syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin
spiritual tertentu. Gerakan yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar
abad ke-10 M; (2) tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad
berikutnya dimana formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode
ketasawufan mulai terbentuk mapan; (3) taifa, yakni masa persebaran
ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang melestarikan ajaran syaikh tertentu
(Effendi, 1993: 67).
Tarekat adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui
ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin
spiritual tertentu untuk menemukan kejernihan jiwa dan hati.Varian tarekat
dapat disejajarkan sebagai mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula
varian-varian mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih.
c.
Deskripsi Tentang Tarekat
Tarekat berasal dari kata 'thariqah jamaknya tharaiq,
yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system
(al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah),
(5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Jalan
yang dimaksud di sini adalah jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi orang
yang diridhoi Allah.Secara praktisnya tarekat adalah kumpulan amalan-amalan
lahir dan batin yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk menjadi orang
bertaqwa (Haeri, 2000: 37). Menurut Al- Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali
(740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para
penempuh jalan) menuju Allah melalui tahapantahapan/ maqamat. Dengan
demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian
bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju
kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi
brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah,
ribath, atau khanaqah (dalam Mulkhan, 1998: 111).
Tarekat sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara langsung.
Di abad-abad awal Islam, kaum sufi tidak terorganisasi dalam
lingkungan-lingkungan khusus atau tarekat. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran
dan teladan pribadi kaum sufi yang menjalani kehidupan menurut aturan-aturan
yang telah ditetapkan agama mulai banyak menarik kelompok manusia. Di antara
abad kesembilan dan kesebelas, mulai muncul berbagai tarekat sufi, yang
meliputi para ahli dari segala lapisan masyarakat. Ketika tarekat sufi, atau
persaudaraan sufi ini muncul, pusat kegiatan sufi bukan lagi di rumah-rumah
pribadi, sekolah atau tempat kerja sang pemimpin spiritual (Nafies, 1996: 180).
Selain itu, struktur yang lebih bersifat kelembagaan pun diberikan
pada pertemuan-pertemuan mereka, dan tarekat-tarekat sufi mulai menggunakan
pusat-pusat yang sudah ada khusus untuk pertemuan-pertemuan ini. Pusat
pertemuan kaum sufi biasanya disebut Khaneqah atau Zawiyya. Orang
Turki menamakan tempat perlindungan orang sufi sebagai Tekke. Di Afrika
Utara tempat semacam itu disebut Ribat, nama yang juga digunakan untuk
menggambarkan kubu atau benteng tentara sufi yang membela jalan Islam dan
berjuang melawan orang-orang yang hendak menghancurkannya. Di anak benua India,
pusat sufi disebut Jama'at Khana atau Khaneqah (Arberry, 1988:
39).
Sama halnya dengan berbagai mazhab hukum Islam, yang muncul pada
abad-abad awal setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimaksudkan untuk menegaskan
suatu jalan yang jelas untuk penerapan hukum tersebut, demikian pula
tarekat-tarekat sufi yang muncul dalam periode yang sama bermaksud menegaskan
jalan yang sederhana bagi praktik penyucian batin. Sebagaimana banyak mazhab
hukum Islam (fiqh) tidak lagi dipropagandakan sehingga berakhir,
demikian pula banyak tarekat besar menghadapi situasi yang serupa. Di abad
kesembilan terdapat lebih dari tiga puluh mazhab fiqh Islam, tetapi kemudian
jumlah tersebut berkurang hingga lima atau enam saja. Di abad ke-12 Anda tak
dapat menghitung jumlah tarekat sufi, antara lain karena banyaknya, dan karena
tarekat-tarekat itu belum ditegaskan sebagai tarekat. Sebagian besar syekh dan
guru spiritual dalam tarekat sufi dan mazhab hukum tidak mengharapkan ajaran
mereka akan diberikan penafsiran yang terbatas dan sering kaku pada masa
setelah kematian mereka, atau bahwa tarekat sufi dan mazhab hukum dinamai
dengan nama mereka. Namun, terpeliharanya tarekat-tarekat sufi sebagian sering
merupakan akibat dari pengasingan diri (uzlah) secara fisik dan arah yang
diambil oleh kecenderungan Islam (Beck, 1988: 137).
Suatu kecenderungan yang nampak pada tarekat-tarekat sufi ialah
bahwa banyak diantaranya telah saling bercampur, sering saling memperkuat dan
kadang saling melemahkan. Kebanyakan tarekat sufi memelihara catatan tentang
silsilahnya, yakni rantai penyampaian pengetahuan dari syekh ke syekh, yang
sering tertelusuri sampai kepada salah satu Imam Syi'ah dan karenanya kembali
melalui Imam 'Ali ke Nabi Muhammad SAW, sebagai bukti keotentikan dan
wewenangnya.
Satu-satunya kekecualian adalah tarekat Naqsyabandiyah yang
silsilah penyampaiannya melalui Abu Bakar, khalifah pertama di Madinah, ke Nabi
Muhammad SAW (Beck, 1988: 139). Secara substansi tarekat mempunyai tiga sistem,
yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem
hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau Mursyid,
Wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah
dan silsilah.Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah,
barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru (Iqbal,
1981: 12).
Secara substansial terdapat dua macam tarekat yaitu tarekat wajib
dan tarekat sunat. Pertama, tarekat wajib, adalah amalan-amalan wajib, baik fardhu
ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim.
Tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam.Contoh amalan wajib
yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain
adalah menutup aurat, makan makanan halal dan lain sebagainya. Kedua, tarekat
sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai
dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu
saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat
wajib.
Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas
tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru Mursyid untuk
diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya.Isi dari paket tarekat sunat ini
tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan murid
atau pengikut.Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan
jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir
dan lain sebagainya (Trimingham, 1971: 4).
Salah satu amalan tarekat adalah wirid/zikir yang dibaca secara
teratur dengan disiplin tertentu.Wirid ini diberikan/didiktekan oleh Rasulullah
kepada pendiri tarekat tersebut melalui yaqazah (pertemuan secara
sadar/jaga).Fungsi wirid ini adalah sebagai penguat amalan batin (Hamka, 1978:
241).Berikut adalah kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual.
Islam sebenarnya terdiri dari empat tingkatan spiritual yaitu, syariat,
tariqah atau tarekat, hakikat, sedangkan tingkatan keempat, adalah ma'rifat,
tingkatan yang 'tak terlihat', yang sebenarnya adalah inti dari wilayah
hakikat, sebagai esensi dari keempat tingkatan spiritual tersebut.
BAB III
Pembahasan
A.
Kritik Terhadap Sumber Tasawuf
Para penentang tasawuf menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang
berasal dari Rosululloh dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat.Mereka
menganggap bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran sesat dan menyesatkan yang
diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan
zuhud Budha.Disamping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan
konspirasi yang tersusun rapi untuk menghancurkan Islam. Diantara tujuan
terpenting konspirasi tersebut adalah: 1) menjauhkan kaum muslim dari Islam
yang hakiki dan ajarannya suci murni dengan kedok Islam. 2) memasarkan
akidah-akidah Yahudi, Kristen, sekte-sekte di India, dan sekte-sekte di Persia
seperti agama Budha, agama Hindu, Zoroaster, Al-Manawiyah, Platonisme.[8]
Ibrahim bin Hilal mencoba memetakan pengaruh unsur lain, terutama
filsafat Yunani, terhadap tasawuf aliran falsafi. Ia menegaskan bahwa sumber
dan kata tasawuf, baik dari mazhab terdahulu maupun belakangan, berasal dari
luar dan bukan dari Islam.[9]
B. Kritik Terhadap Tarekat
Di antara bentuk penyimpangan yang dialamatkan kepada tasawuf
adalah menonjolkan kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi sehingga
mengabaikan usaha (kerja). Di samping itu, ada bentuk penyimpangan yang lain
seperti mengabaikan syariat dan perdukunan.[10]Akibat
penyimpangan-penyimpangan tersebut, timbullah kritik pedas terhadapnya.Kalangan
pembaharu seperti Jamaluddin AL-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida
memandang tarekat sebagai salah satu faktor penyebab kemunduran umat Islam.[11]
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata,
“…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli tasawuf menobatkan
seseorang sebagai ‘wali’ hanya orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam
suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang diluar kemampuan
manusia, seperti menunjukan kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang
diudara menuju mekah atau tempat lainnya, terkadang berjalan diatas air,
mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta
pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang
itu melihatnya dating dan menunaikan kebutuhannya, memberi tahu tempat
barang-barang yang dicuri, memberikan hal-hal yang gaib (tidak tampak), atau
orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal, kemampuan hal-hal ini sama sekali
tidaklahmenunjukan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan,
orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa
jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, kita
tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah
perbuatannya sesuai dengan sunnah Rosulullah SAW? Apakah orang tersebut selalu
taat terhadap perintah beliau dan menjauhi larangannya?...karena hal-hal yang
di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik,
ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan
bantuan setan atau jin, sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang
yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah.”[12]
Sementara itu, Syekh Nawawi Banten menyampaikan kritiknya sebagai
berikut:
“Adapun orang-orang yang mengambil tarekat, jikalau perkataan dan
perbuatan mereka itu mufakat pada syara’ Nabi Muhammad sebagaimana ahli-ahli
tarekat yang benar, maka maqbul,dan jika tiada begitu, maka tentulah
seperti yang telah banyak terjadi di dalam anak-anak murid Syekh Ismail
Minangkabau.
Maka bahwasanya mereka itu bercela akan dzikir Allah dengan (…) dan
mereka itu bercela-cela akan orang yang tiada masuk dalam tarekat. Mereka itu
hingga, bahwasanya akan mengikut bersembahyang padanya dan bercampur makan
padanya dan mereka itu benci padanya istimewa pada bahwasanya Syekh Ismail itu
hanyalah mengambil ia akan tarekat itu: asalnya karena mau jual agama dengan
dunia adanya.[13]
Di sepanjang sejarah Islam memang terdapat kritikan tajam terhadap
guru-guru dan organisasi-organisasi sufi. Salah satu contoh yang termasyhur
adalah mistikus abad pertengahan, Al-Hallaj (w. 922), yang dihukum mati karena
menyatakan persatuan mistisnya dengan Tuhan dengan cara ekstrim. Para penafsir
Islam yang literitas dan legalis menentang praktik-praktik tarekat sufi karena
dianggap menyediakan sarana bagi
praktik-praktik dan keyakinan-keyakinan non-Islam. Pada abad ke-18, oposisi
terkuat terhadap tarekat dating dari gerakan Wahhabiyah yang sedang berkembang.
Pada era modern, para pembaru modern mengkritik keras tarekat karena mendorong
dan memperkuat takhayul rakyat, dan kaum modernis Islam berupaya mengurangi
pengaruh syekh-syekh sufi dalam masyarakat mereka.[14]
Oposisi kaum modernis semacam itu dapat dilihat dalam
tindaka-tindakan kaum pembaru di seluruh dunia Islam. Dimana pun gerakan
modernis Salafiyah — yang muncul melalui pikiran dan tindakan kaum ulama pada
akhir abad ke-19, semisal Muhammad Abduh (w. 1905) di Mesir— mempunyai
pengaruh, di situ terdapat oposisi yang kuat terhadap praktik-praktik pemujaan
rakyat serta pengaruh tarekat-tarekat sufi. Hal ini dapat di lihat dari
kegiatan dan ajaran ‘Abdullah ibn Idris As-Sanusi (w. 1931) di Maroko, Perhimpunan
Ulama Aljazair yang dibentuk pada 1930-an, Muhammadiyah di Indonesia di
sepanjang abad ke-20, gerakan Jadidiyah di wilayah Kekaisaran Rusia lama, serta
di wilayah banyak lain. Selain itu, progam-progam reformasi yang lebih jelas
terbaratkan berupaya menghapus pengaruh tarekat, sebagaimana dengan amat bait
diilustrasikan dalam reformasi Musthafa Kemal Ataturk selama 1920-an dan
1930-an di republic baru Turki.[15]
Sisi lain dari tarekat yang menjadi sorotan adalah bahwa tarekat
umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat
menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia ini karena “Dunia ini adalah bangkai, yang mengejar
dunia adalah anjing.”Ajaran ini “tampaknya” menyelewengkan umat Islam dari
jalan yang harus ditempuhnya. Demikian juga, sifat tawakal, menuggu apa saja yang datang, qadha dan qadar yang sejalan
dengan paham Asy’ariyah. Para
pembaharu dalam dunia Islam melaihat bahwa tarekat bukan hanya mencermarkan
paham tauhid, tapi juga membawa kemunduran bagi umat Islam.[16]
Bahkan, Schimmelmenyatakan bahwa tarekat-tarekat sufi yang muncul dari
kebutuhan merohanikan Islam akhirnya menjadi unsure yang menyebabkan kemandegan
orang-orang Islam.[17]
C.
Kritik Terhadap Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi diwakili para sufi yang memadukan tasawuf dengan
filsafat, sebagaimana telah disebut di atas. Para sufiyang juga filosof ini
mendapat banyak kecaman dari para fuqaha, yang justru semakin keras akibat
pernyataan-pernyataanmereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras
kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ialah Ibn Taimiyah
(meninggal pada tahun 728 H).[18]
Dari mulut sebagian sufi lahir beberapa syathahat, yaitu ungkapan dari isyarat-isyarat yang mereka
sampaikan saat berada dalam keadaan mabuk ketuhanan dan lenyapnya kesadaran,
yang makna-maknanya tidak jelas bagi orang yang belum mencapai kondisi rohani (ahwal) seperti mereka. Ungkapan-ungkapan
itu barangkalikeluar dari batas etika-etika syara’, tidak pantas di hadapan
Tuhan Yang Mahasuci, atau dari ungkapan-ungkapan itu merembes paham ateisme.
Sikap kita terhadap syathahat-syathahat
mereka itu tidak berbeda dengan sikap ulama salaf yang aneh.[19]
Dalam kaitan ini, Ibnu Qayyim berkata,
“Ketahuilah bahwa dalam bahasa kaum sufi itu ada banyak metafora
yang banyak dimiliki oleh bahasa kaum yang lainnya.Ada pengungkapan hal umum,
tetapi yangdimaksud adalah hal yang khusus.Atau pengungkapan satu kata, namun
yang dimaksud adalah indikasinya, bukan makna yang sebernarnya.Karena itu,
mereka berkata, ‘Kami adalah para pemilik isyarat, bukan pemilik ungkapan.Isyarat
bagi kami, sedang ungkapan bagi orang selain kami.’ Mereka (para sufi)
terkadang mengungkapan satu frase yang diungkapan ulang oleh orang ateisme.
Dengan frase itu, para sufi menghendaki suatu makna bukan kerusakan. Oleh
karena itu, frase itu menjadi sebab timbulnya fitnah di antara dua kelompok.
Satu kelompok bersandar kedapa whir frase,
lalu menilai yang mengungkapkan frase itu ahli bid’ah dan menyesatkan.
Sementara kelompok yang satu lagi memandang maksud-maksud dan tujuan dari
orang-orang sufi, lalu membenrkan ungkapn dari isyarat-isyarat mereka itu. Maka
orang yangmencari kebenaran (al-haqq)
akan menerimanya dari orang ahli kebenaran, dan menolak dari bukan ahli
kebeneran.”[20]
Ibn Nadim, berlandaskan sumber-sumber tertentu yang bertentangan,
pada abad ke-10 berkata tentang Al-Hallaj:
“Al-Husayn ibn Mansur Al-Hallaj adalah seorang penipu dan tukang
sulap yang memberanikan diri masuk ke dalam pemikiran mazhabsufi, mempengaruhi
gaya bahasa mereka. Ia menyatakan menguasai setiap bidang ilmu, tetapi
pernyataan itu tidak berharga. Ia tahu sedikit tentang yang al-hikmah. Ia
bodoh, berani, patuh, tetapi tidak gentar di hadapan sultan, berusaha melakukan
hal-hal besar dan sungguh menginginkan suatu perubahan dalam pemerintah. Di
antara para pengikutnya ia mengaku bersifat Ilahi, dan berbicara tentang
penyatuan Ilahi…..”[21]
Diantara hal yang paling penting yang dituduhkan oleh orang-orang
yang menentang kaum sufi adalah tuduhan yang bodoh dan palsu bahwa kaum sufi
menyakini hulul dan ittihad. Artinya, Allah menduduki
seluruh bagian bumi, baik di lautan, pegunungan bukit-bukit, pepohonan,
manusia, hewan dan sebagainya.Dengan kata lain, makhluk adalah Khaliq itu
sendiri. Semua yang dapat diraba dan dapat dilihat di alam imi merupakan Dzat
Allah dan diri-Nya.Mahasuci Allah dari semua itu.
Hulul
dan ittihad tidak mungkin terjadi, kecuali
dalam satu jenis.Allah buaknlah jenis sehingga Dia tidak bisa menyatu dengan
jenis-jenis lainnya.Bagaimana yang Qadim menepati yang hadis, Khaliq menepati
mahluk?Jika yang dimaksud dengan hulul
adalah maksudnya ‘aradh (lawan dari
esensi) ke dalam esensi, Allah bukanlah ‘aradh.Jika
yang dimaksud adalah masuknya esensi ke dalam esensi, Allah bukanlah
esensi.Jika hulul dan ittihad antara dua mahluk adalah sesuatu
yang mustahil —tidak mungkin dua orang laki-laki menjadi satu orang laki-laki
karena perbedaan zat keduanya— perbedaan antara Khaliq dan mahluk, antara
Pembuat dan yang dibuat, dan antara Dzat yang wajib ada dan sesuatu yang
mungkin, lebih besar dan lebih utama lagi.[22]
Para ulama dan para sufi yang tulus terus berusaha menjelaskan
kesalahan pendapat tentang hulul dan ittihad, menunjukan kerusakannya, dan memperingatkan
kesesatannya.[23]
Dalam Al-‘Aqidah Ash-Shughra,
Syekh Muhyiddin ibn Arabi berkata, “Mahatinggi Allah dari menepati yang hadis,
atau yang hadis menempati-Nya.” Dalam bab “Al-Asrar”, ia berkata, “Seorang ahli
makrifat tidak boleh berkata, ‘Aku adalah Allah,’ sekalipun dia sampai pada
kedekatan yang paling tinggi. Seorang ahli makrifat harus menjauhi perkataan
seperti ini.Hendaknya dia berkata, ‘Aku adalah hamba yang hina dalam perjalanan
menuju Engkau’.” Dalam bab ke-169, ia berkata, “Barang siapa yang berkata
tentang hulul, berate dia itu sakit.
Mengaku berkata tentang ittihad,
kecuali orang murtad, sebagaimana orang yang berkata tentang hulul adalah orang yang bodoh dan
berlebih-lebihan.” Dalam bab yang sama,ia berkata, “Yang hadis tidak akan
terlepas dari sifat-sifat mahluk. Jika yang Qadim menepatinya, benarlah
perkataan ahli tajsim.Jadi, yang
Qadim tidak menepati dan tidak menjadi tempat.”[24]
D.
Kritik Praktik Tasawuf Secara Umum
Pembaharuan tasawuf Al-Ghazali, yaitu upayanya menehan gerakan yang
wakatnya melebih-lebihkan itu tidak berhasil, walaupun pengaruhnya luar
biasa.Gerakan mistisme menjadi sulit dikendalikan dan tidak dominan lagi.Umat
mengalami kemunduran yang selama dua abad terakhir ini mereka berupaya keras
mengatasi kemunduran ini. Ahli-ahli tetap mendisiplinkan manusia untuk mematuhi
Tuhan dan menjalankan syariat, memperdalam komitmennya terhadap Islam dan menyucikan
serta mengangkat jiwanya pada jalan kebenaran, tasawuf menjadi penyakit yang
menyebabkan atau bahkan memperburuk gejala-gejala berikut:
1.
Kasyf (pencerahan genostik) menggantikan pengetahuan. Di bawah tasawuf,
dunia muslimmeninggalkan komitmennya untuk mencari pengetahuan ilmiah yang
rasional, dengan upaya mendapatkan visi pengalaman mistis. Kaum muslim
mengabaikan pertimbangan dan pembuktian secara kritis dari berbagai alternatif
terhadap pernyataan esoterik, amalan, dan
otoritarian dari syekh (pemimpin) sufi. Bila sikap pikiran terhadap realitas
berubah dan cenderung subjektif-esoteris mengambil alih, semua ilmu pengetahuan
akan tersingkir. Bila manusia percaya kebenaran dapat diperoleh pengetahuan
kritis, rasional, dan empiris akan padam. Pada waktunya, matematika, tercampur
aduk dengan numerologi, astronomi, dengan astrologi, kimia dengan alkemi, dan
pada umumnya, rekayasa alam dengan sihir.
2.
Karamah (mukjizat kecil), yang diajarkan tasawuf hanya mungkin dalam
keadaan pernyatuan atau komuni dengan Tuhan. Karamah yang dibenarkan tasawuf
sebagai anugerah yang dilimpahkan Tuhan kepada orang yang sangat saleh, merusak
perhatian muslim terhadap hubungan sebab-akibat alamiah dan mengajarkannya
untuk mencapai hasil melalui metode konduksi spiritualistic. Menurut pemikiran,
hubungan alamiah sebab dengan akibat, sarana dengan tujuan, dihancurkan dan
digantikan oleh hubungan denganguru sufi yang mampu menampakan karamah
untuknya.
3.
Taabbud, kerelaan untuk meninggalkan aktivitas sosial
dan ekonomi untuk melakukan ibadah spiritulistik sepenuhnya, dan komitmen untuk
mencurahkan segenap energi untuk berdzikir menjadi tujuan utama. Sebenarnaya,
Islam memerintakan pelaksanaan lima rukun Islam, tetapi Islam memerintahkan
juga pelaksanaan khilafah dan amanat
Tuhan.
4.
Tawakal, kepasrahan total pada faktor spiritual untuk menghasilkan
hasil-hasil empiris, menggantikan keyakinan muslim terhadap kemujaraban yang
pasti dari hokum Tuhan dalam alam dan dari keharusan mutlak campur tangan
manusia kedalam rangkaian (nexus)
sebab-akibat alam, jika tujuan yang diproyeksikannya akan direalisasikan.
5.
Qismat, penyetujuan secara sembunyi-sembunyi dan pasif terhadap hasil
tindakan kekuatan di alam yang berubah-ubah mengantikan taklif, atau kewajiban
manusia untuk merajut, memotong, dan membentuk ulang ruang-waktu untuk
merealisasikan pola Ilahiyah di dalamnya. Bukannya Amanah, atau asumsi manusia terhadap maksud Ilahiyah untuk
ruang-waktu sebagai alasan keberadaan pribadinya sendiri, tasawuf justru
mengajarkan jalan pintas melalui dzikir dan memperbesar harapan untuk
memanipulasi kekuatan adialam, yang membuka pintu bagi sihir, azimat, dan
klenik.
6.
Fana’ dan Adam, bukan realitas,
efemeralitas dan ketidakpentingan dunia, mengantikan keseriusan muslim
menyangkut eksistensi. Ini menutupi kesadaran muslim akan status kosmisnya
sebagai satu-satunya jembatan untuk merealisasikan kehendak Tuhan sebagai nilai
moral dalam ruang dan waktu. Taswuf mengajarkan bahwa hidup didunia tak lain
hanyalah perjalanan singkat menuju alam baka. Bertentangan dengan prinsip Islam
bahwa realisasi akhir dari kemutlakan dalam ruang-waktu bukan satu-satunya
kemungkinan pasti, melainkan tugas mulia manusia,tasawuf justru bahwa dunia
bukanlah teater seperti itu, bahwa
realisasi alam baka. Seperti kata Al-Ghazali, realisasi ini menepatkan dunia di
luar akal dan pikiran waras.
7.
Taat, kepatuhan mutlak dan total kepada syekh dari salah satu tarekat
sufi menggantikan tauhid, pengakuan bahwa tak ada Tuhan, kecuali Allah.
Pencapaian pengalaman mistis meniadakan syariat atau pelaksanaan kewajiban sehari-hari
dan kewajiban seumur hidup. Ini, bersama metafisika panteistik tasawuf, mengaburkan
semua gagasan etika Islam.
Gejala-gejala ini merusak kesehatan masyarakat muslim selama paruh
masa seribu tahun, sejak jatuhnya Baghdad ke tangan kaum Tatar pada 655/1257
sampai munculnya Wahhabiyah, gerakan pembaharuan antisufi pertama, pada
1159/1747. Di bawah pesona sufi, orang Muslim menjadi apolitis, asocial,
amiliter, anetika, dan tidak produktif. Mereka tidak peduli umat (persaudaraan
dunia di bawah hukum moral), menjadi individualis, dan menjadi egois yang
tujuan utamanya adalah keselamatan diri, terserap dalam keagungan Tuhan.Dia tak
bergeming dengan kesengsaraan, kemiskinan, dan keberataan masyarakat sendiri,
serta nasib umat dalam sejarah.[25]
E.
Rekonstruksi terhadap Tasawuf
Ide
rekonstruksi terhadap tasawuf salah satunya dapat ditemukan dalampemikiran
Hasan Hanafi.Secara mendasar dia menolak tasawuf sertamemandangnya sebagai
penyebab dekadensi kaum Muslimin (Hanafi, 2001: 24).
Tasawuf
sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, anti arogansi, anti gilaterhadap
kekuasaan dan anti kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partaioposisi
dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan
Huseinmengalami kekalahan.Oleh karena itu, ketika kekuasaan dinasti Umayyah
mulaimapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai
penyebabperpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan
adalahmenyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan
tetapdalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam
kehidupan.
Islam, lalu,
berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadigerakan vertikal,
yang keluar dari kehidupan dunia.Cita-cita kesejarahan menjadicita-cita
historis; dari milik seluruh umat, Islampun menjadi milik eksklusif
jamaahtarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal
dengan Tuhan (alittihad)secara illusif dan fantastik, para
sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnyatanpa mengubah dunia. Hanafi menuding
bahwa menyelamatkan diri sendiri tanpamenyelamatkan orang lain adalah egoisme,
kesucian jiwa tanpa kesucian duniaadalah naif dan destruktif. Kaum Muslimin
menderita karena nilai-nilai negatif yangdikembangkan, seperti faqr (kemiskinan),
khawf (ketakutan), dan al-ju’ (kelaparan).
Maka, kaum
Muslimin benar-benar miskin, takut lapar dan mengalami krisis yangtak ada yang
dapat melepaskan diri dari krisis itu (Hanafi, 2001: 67).Kaum Muslimin merasa
sebagai "sebaik-baik umat yang dilahirkan untukmanusia" (khaira
ummatin ukhrijat li al-nas), memilih peradaban tinggi yang pernahlahir
dalam sejarah dan menjadi umat yang unggul, akan tetapi mereka tak
mampumelakukan amar ma’ruf nahi munkar agar menjadi umat yang terbaik.
Adapunekstase sesungguhnya adalah ekstase dalam karya dan berkorban
untuk menegaskanmisi kemanusiaan manunggal (al-ittihad), yakni
menerapkan syariat Islam danmembumikan wahyu dalam tatanan dunia secara aktif,
melalui gerakan kaumMuslim dalam sejarah.
Atas
pertimbangan di atas, Hanafi mencoba merekonstruksi tasawuf.Hanafi(2000: 44)
mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari kebudayaanIslam.Ia
merupakan salah satu dari empat besar ilmu rasional (‘aql) yang
bersifattradisional (naql). Sesudah serangan yang dilancarkan al-Ghazali
atas ilmu-ilmu rasional yang diwakili filsafat, yang melalui ilmu itu teologi
mu’tazilah berhasilmenampilkan rasionalisme Islam selama empat abad, dari abad
II hingga abad-VHijriyah, tasawuf menjalin hubungan dengan teologi tradisional,
yakni Asy’ariyahyang mengambil alih semua ilmu Islam selama tujuh abad
berikutnya dan sepanjangmasa kerajaan Usmaniyah hingga gerakan pembaharuan
modern. Manurut Hanafi(2000: 44), tasawuf lahir dalam kondisi historis yang
mengharuskan adanya upayauntuk menanggulangi kekalahan politik dan militer,
yang telah disublimasikandalam kemenangan rohani, sehingga tasawuf seolah-olah
tidak memiliki lagisentuhan makna sosiologis dan keduniawian yang secara nyata
sedang dihadapi olehmanusia. Oleh karena itu, Hanafi berusaha merekonstruksi
nilai mistik jenjang-jenjangmoral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan
mutlak untuk membantugenerasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan
yang sedang dihadapi.
Bagi Hanafi
(2000: 42), tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan yangditerapkan secara
terbalik, ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalammenghadapi pihak
lain dengan meninggalkan dunia kekalahan untuk membina duniakemenangan,
sehingga mudah membawanya kembali ke dunia. Tasawuf merupakansuatu jalan (tariqah)
yang meliputi tiga tahap: tahap moral, tahap etiko-psikologisdan tahap
metafisik (Hanafi, 1998: 40). Hanafi kemudian melakukan rekonstruksitasawuf
dalam ketiga hal tersebut.
Pertama, rekonstruksi tahap moral.Dalam tahap moral, tasawuf munculsebagai
ilmu etika yang bertujuan untuk menyempurnakan moral individu.Jikamasyarakat
hilang, paling tidak individu dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahapmoral
mencakup: a) Dari jiwa ke tubuh. Karena krisis permulaan yang merupakanawal
timbulnya tasawuf disebabkan oleh nafsu serakah jiwa, maka tubuh tidakkurang parahnya
dibandingkan jiwa.Jika semua masalah masa lampau dihubungkandengan jiwa, maka
semua masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh; b) Darirohani ke
jasmani.Tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai kompensasi atas
dunia jasmani yang material.Segala hal memiliki makna ganda,karena realitas
memiliki wajah ganda.Jika kekuasaan sosial politik merampaslahiriah, maka
tasawuf mempertahankan batiniah.Dalam era pembangunan, yangdipertahankan adalah
dunia lahir.Kekuasaan sosial politik yang mengontrol dunialahir dapat diubah,
karena tidak ada pembangunan tanpa kekuasaan; c).Dari etikaindividu ke etika
sosial.Salah satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah rusaknyaindividu.Maka
reaksi alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagiindividu; d).Dari meditasi-menyendiri
ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah caramemperoleh kekhusyu'an untuk
mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipunberpendapat secara individual
dipentingkan, namun sesungguhnya untuk duniasekarang tindakan terbuka sangat
diperlukan untuk perubahan-perubahan; e). Dariorganisasi sufi ke gerakan
sosio-politik.
Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis.Tahap ini mengandung
artibahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke psikologis individual, dari
ilmuperilaku ke psikologi murni nafsu manusia.Tasawuf tidak lagi berhubungan
dengantindakan lahir perilaku melainkan tindakan batin kesalehan.Fokusnya bukan
lagipada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada tindakan-tindakan
hati.Kini,tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati.Ilmu ini terdiri
dari duabagian; langkah-langkah moral (maqamat) dan kondisi-kondisi
psikologis (ahwal).Rekonstruksi pada tahap ini mencakup dua hal, yaitu
dari nilai pasif ke nilai aktifdan dari kondisi psikologis ke perjuangan
sosial.
Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa
ketikasufi melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia
sampai padatahap terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya,
karena sufi telahmelewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang.
Tahap ketiga inibenar-benar merupakan buah yang harus dikumpulkan, hasil yang
harus dicapai danhadiah yang harus diterima.
Namun demikian,
tahap ini perlu direkonstruksi agar perkembangan tersebuttercapai dibumi.
Rekonstruksi pada tahap ini mencakup pada empat hal: a). Darivertikal ke
horizontal. Karena tasawuf telah mengarahkan diri ke arah yangtertinggi, maka
sejak itu yang rendah bersikeras kepada kehendak murni, setelahdikuasai oleh
kehendak tidak murni yang mudah untuk membawanya kembali untukturun ke
bumi.Generasi sekarang paling tidak sedang mencoba menguasai
kembalidunia.Tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan sebelumnya bermaksud
untukdekolonisasi dan sekarang untuk pembangunan. Akan tetapi,
tindakan-tindakan inimuncul terbatas, karena kesemuanya selalu menguap akibat
digunakan di tempat-tempatlain.
Jika vertikal
ditransformasikan kembali ke bawah, tindakan-tindakan inimungkin bersifat
konklusif dan produktif (Shibab, 1998: 59). Jika gerakan di jalansufi bermula
dari luar (tahap moral) ke dalam (tahap etiko-psikologi) dan lalu keyang
tertinggi (kepercayaan metafisik), maka gerakan dalam pebangunan bermuladari
yang tertinggi (perencanaan) ke dalam (pengelolaan) dan selanjutnya ke
luar(pencapaian). Jika bumi pada masa kelahiran tasawuf putus asa dan diperbandingkan
dengan langit, sekarang negara-negara sedang berkembang mencoba menaklukkkan
bumi lagi (Abdurrahman, 2003: 18).
Pada saat yang
bersamaan, Tuhan adalah Tuhan langit dan bumi.Tanahmesti muncul dari inti
tradisi sebagai manifestasi utamanya, yakni apakah untukdekolonisasi atau untuk
bekerja; b).Dari langkah moral ke periode sejarah.Karenalangkah-langkah moral
merupakan tahap-tahap periodik di jalan pengawasan,mungkinkah menyusun
langkah-langkah moral ini sebagai periode sejarah yangprogresif? Dalam tasawuf,
terdapat apa yang benar-benar diperlukan pembangunan.:mobilitas, perubahan,
periodisasi, kesempurnaan, rasa keharusan mengikutipedoman, kemunduran,
kesudahan, nafsu, komitmen, perjuangan, harapanmemperoleh keberhasilan dan sebagainya.
Ini hanya masalah pengalihan hubungan depan-belakang; c). Dari dunia ini ke
dunia lain. Tasawuf pada mulanya merupakanreaksi terhadap kekalahan kesalehan,
sementara kebenaran dunia lain merupakantempat perlindungan yang terakhir, yang
tak dapat dicapai oleh ketidak salehan dankebatilah di dunia. Karena kehidupan
yang lurus di bumi pada hakekatnya tidak ada,maka yang saleh pun meninggal
dalam keadaan syahid, sebagai kehidupan abadiyang kekal bagi mereka.
Namun demikian
kondisi modern ini lebih banyakberhubungan dengan kehidupan daripada
kematian.Kondisi ini lebih banyakberhubungan dengan para penghuni di luar kubur
di wilayah-wilayah pembangunan urban kota-kota besar; d).Dari kesatuan khayal
ke penyatuan nyata.Akibatkekalahan kesalehan dan kemenangan ketidaksalehan,
maka terjadi pemisahanantara cita-cita dan kenyataan.Kesatuan antara keduanya
menjadi sekedar harapandan impian yang diteruskan di dalam tasawuf (Fariza,
2003: 55).
Kaum sufi
memberikan beberapa kesan untuk mengungkapkan kesatuan ini,yakni misalnya,
antara Tuhan dan dunia, kebenaran dan realitas, rohani dan alamdan sebagainya.
Maksud dan tujuan akhir tasawuf adalah kesatuan dan penyatuanyang berhubungan
dengan tauhid, yang merupakan dasar dalam keimanan Islam.
Mengapa tidak
beralih dari kesatuan khayali antara cita-cita dan kenyataan kepenyatuan nyata
masyarakat Islam, untuk merobohkan rintangan-rintangan artifisialyang dihadapi
sebagai upaya peralihan dari era kolonial?Jawabannya, metafisikkesatuan dalam
tasawuf dapat memainkan peranan sangat penting untuk mecapaikesatuan sebagai
tujuan politik.Panteisme dapat direkonstruksi sebagai kerangkakonseptual bagi
Pan-Islamisme (Shibab, 1998: 56).
Dilihat dari
uraian diatas tampak dengan jelas bahwa rekonstruksi yangdilakukan Hassan
Hanafi menunjukkan penalaran yang sangat tinggi.Pemikiran initampaknya lahir
dari kesadaran yang sangat penuh atas posisi kaum Muslimin yangsedang
terbelakang, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap bangunanpemikiran
Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebesan.
Upaya
rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan (Abdullah, 1996:
87).Sebagaicendikiawan, Hanafi berusaha menawarkan suatu bentuk transformasi
pengetahuan yang diperolehnya sebagai akibat dari interaksi akademis yang cukup
dalam antarawilayah internal timur Hassan Hanafi dengan tradisi intelektual
Barat.Hanafidengan sangat berani mengadopsi tradisi filsafat
materialisme-dialektis, yang dalamdunia Islam dianggap sebagai ancaman bagi
keberhasilan kehidupan spiritual.Namun demikian, Hanafi tidak semata-mata
memakai analisa filsafat materialisme.
BAB IV
Penutup
A.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas bahwa tasawuf merupakan kebudayaan Islam, namun dengan perubahan
zaman tasawuf banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Ini merupakan aspek
gejala sosial yang berbahaya bagi para muslim didunia.
Sehingga menimbulkan kritik terhadap tasawuf yang berlatar belakang insiden jejak yang terjadi
pada permulaan abad ke-4 H, ketika aliran-aliran kebatinan, Syi’ah, Qaramithah,
dan kafir zindik memanfaatkan tarekat-tarekat sufisme. Mereka menyebabkan Islam
berada pada kondisi yang berbahaya, tetapi sesungguhnya tak ada kelemahan bagi
orang sufi. Kejadian itu Ialah Ibnu Saba’, orang berdarah Yahudi memanfaatkan
cinta Ahl Al-Bait sebagai tipu daya. Dia menyebarkan benih fitnah dan perang
sipil yang menyebabkan wafatnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. dan gugurnya sekitar
10.000 orang sahabat dantabi’in sebagai syahid. Apakah peristiwa tersebut ada
kelalaian Ahl Al-Bait dan kecintaan terhadap Ali r.a.? jawabannya tentu tidak.
Demikian pula, paham tasawufvtidak boleh dicemari dengannya.Tasawuf taka da
kaitannya dengan fitnah tersebut.[26]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, terj. Khairul Amru
Harahap, Lc. Dan Afrizal Lubis, Lc. Qisthi Press, Jakarta, 2005.
Aceh,
Abubakar, 1985, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani.
---------------------,
1984,Pengantar Sejarah Sufi Dan Tasawuf, Solo: Ramadhani.
Annemarie
Schimel, Dimensi Mistik dalam Islam.,
terj. Supardi Djoko Damono dkk., dari Mystical
Dimension of Islam (1975), Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1986.
Anwar Rosihon dkk, Ilmu
Tasawuf, Penerbit: CV Pustaka Setia, Bandung, 2008.
At-Taftazani,
Abu el Wafa, 1997, “Peran Sufisme Dalam Masyarakat Modern” Dalam Mukti Ali, Agama
dan Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Tiara Wacana Press, Yogyakarta,
Burhani, Ahmad Najib, 2002.,Tarekat
Tanpa Tarekat : Jalan Baru Menjadi Sufi, Serambi, Jakarta
HAMKA, 1978, Tasawuf:
Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan NurulIslam.
Harun Nasution,
“Tasawuf”, dalam Budhy Munawar
Rahman, (Ed.), Konstekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
Ibn Taimiyah, Majmu’
Al-Fatawa, Jilid 11,Dar Al-Wafa’, Kaherah, 2002.
Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din wa
Al-Falsafah, Dar An-Nahdhah Al-‘Arabiyah, Kairo, 1979.
Ihsan Ilahi
Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf: Latar
Belakang Kesesatan Kaum Sufi, terj. Fadhli Bahri, Darul Falah, Jakarta,
2001.
Isma’il R.
Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas
Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, 2000.
Jhon O. Voll, “Tarekat-Tarekat
Sufi”, dalam John L. Esposition, Ensiklopedi Oxford….,2001.
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia
Abad Ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1948.
Nasir,
Haedar, 1997, Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sayyid Nur bin
Sayyid Ali, Tasawuf Syar’i: Kritik Atas
Kritik, terj. M. Yaniyullah, Penerbit Hikmah, Jakarta,2003.
Shihab, Alwi, 2001, Al-Tashawwuf
Al-Islami Wa Atsaruhu Fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al'Mu' Ashir , Terj. Islam
Sufistik: "Islam Pertama" Dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia, Bandung: Penerbit: Mizan.
Taimiyah, Ibn, 1986, Tasawuf
Dan Kritik Terhadap Filsafat Tasawuf, Terj. Aswadi Syukur, Surabaya: Bina
Ilmu.
William C.
Chittick, Pemikiran Dan Praktek Sufi, dalam
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford:
Dunia Islam Modern, jilid 5, cet. I, terj. Eva Y.N dkk, Mizan, Bandung ,
2001.
Zachner, RC., 1969, Hindu
And Muslim Mysticism, New York: Socke Book.
[1] Anwar
Rosihon dkk, Ilmu Tasawuf, Penerbit:
CV Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal. 227.
[2]William
C. Chittick, Pemikiran Dan Praktek Sufi, dalam
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford:
Dunia Islam Modern, jilid 5, cet. I, terj. Eva Y.N dkk, Mizan, Bandung ,
2001, hal. 208.
[3]Sayyid
Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syar’i:
Kritik Atas Kritik, terj. M. Yaniyullah, Penerbit Hikmah, Jakarta,2003,
hal. 33.
[4]Ibid.,
hal. 34-35
[5]Ibid.,
hal. 35
[6] Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan
roda penggerak utama Islam pada masanya. Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal
abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan
dengan gerakan-gerakan Islam umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya,
dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan
dominasi asing atau kolonial.
[7]Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal
Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat
yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan
yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga
dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat. Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan
tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih
menonjol kepada segi praktis ( يلمعلا ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada
segi teoritis ( يرطنلا ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf
falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis
yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi
orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
[8] Lihat
Ihsan Ilahi Dhahir, Sejarah Hitam
Tasawuf: Latar Belakang Kesesatan Kaum Sufi, terj. Fadhli Bahri, Darul
Falah, Jakarta, 2001.
[9] Ibrahim
Hilal, At-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din
wa Al-Falsafah, Dar An-Nahdhah Al-‘Arabiyah, Kairo, 1979, hal. 32.
[10] Harun
Nasution, “Tasawuf”, dalam Budhy
Munawar Rahman, (Ed.), Konstekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, hal. 187;
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek
tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1948, hal.
187.
[11]
Nasution, “Tasawuf”, hal. 178.
[12]Ibn
Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 11,Dar Al-Wafa’, Kaherah, 2002, hal.
215.
[13]
Steenbrink, Beberapa Aspek….., hal. 184-185
[14]Jhon
O. Voll, “Tarekat-Tarekat Sufi”, dalam John L. Esposition, Ensiklopedi
Oxford….,2001, hal. 223.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17]
Annemarie Schimel, Dimensi Mistik dalam
Islam., terj. Supardi Djoko Damono dkk., dari Mystical Dimension of Islam (1975),
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hal. 243.
[18] Anwar
Rosihon dkk, Ilmu Tasawuf, Penerbit:
CV Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal. 234.
[19] Ibid.
[20] Ali, Tasawuf syar’i….., hal. 58.
[21] Ibid.
[22]
‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, terj.
Khairul Amru Harahap, Lc. Dan Afrizal Lubis, Lc. Qisthi Press, Jakarta, 2005,
hal 393.
[23]Ibid.,
hal. 394-395.
[24]Ibid.,
394.
[25]Isma’il
R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas
Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, 2000,
hal. 334-336.
[26]Sayyid
Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syar’i:
Kritik Atas Kritik, terj. M. Yaniyullah, Penerbit Hikmah, Jakarta,2003,
hal. 33.
Manfaat Daun Dewa Bagi Kesehatan dan Pengobatan
BalasHapusTips Kecantikan Menurut Zodiak
Siapakah Pemenang D Academy 2 Indosiar?
Cara Download Video Di YouTube Tanpa Software
Tips Menghemat Baterai Smartphone Tanpa Aplikasi
Kisah Dokter yang Mengoperasi Perutnya Sendiri
Kesehatan Mental Dalam Islam
Misteri Kerangka Manusia yang Hidup di Jaman Nabi Nuh