BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya, orang
membicarakan tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental dalam bahasannya
masing-masing. Belum banyak ditemukan sebuah uraian yang mencoba mencari titik
temu atau titik singgung antara ketiga kajian tersebut. Oleh karena itu, uraian
ini ditulis dengan harapan menjadi acuan perihal itu. Perlu disadari, sekalipun
berbeda obyek kajian, tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental, ketiganya
berurusan dengan soal yang sama, yakni soal jiwa. Secara sederhana ketiga
kajian itu dapat dinyatakan sebagai berikut:
·
Tasawuf berurusan dengan soal
penyucian jiwa dengan tujuan agar lebih dekat dihadirat Tuhannya.
·
Psikologi Agama berurusan dengan soal pengaruh
ajaran agama terhadap perilaku kejiwaan para pemeluknya.sementara
·
Kesehatan Mental berurusan dengan
soal terhindarnya jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan, kemampuan adaptasi
kejiwaan, kemampuan pengendalian diri, dan terciptanya integritas kejiwaan seseorang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi masalah
dalam bahasan makalah ini, diantaranya :
1.
Dampak negatif dari kesehatan
mental ?
2.
Definisi dari kesehatan mental ?
3.
Ciri-ciri dari kesehatan mental ?
4.
Hubungan antara kesehatan mental
dengan kondisi dan psikis manusia?
5.
Bagaimanakah peran kesehatan
mental dalam pendidikan islam ?
C. Tujuan
1.
Mengetahui Dampak-dampak dari
kesehatan mental.
2.
Mengetahui definisi dari
kesehatan mental.
3.
Mengetahui ciri-ciri kesehatan
mental.
4.
Memahami peran kesehatan mental
dalam dunia pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kesehatan
Mental
Pola negatif
(salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala
neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh
al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan
mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian diri sendiri dan terhadap
lingkungan sosialnya.
Zakiah Daradjat secara lengkap mendefinisikan kesehatan mental dengan ”terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu
dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan”.
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental
berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan
makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau
Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang
sehat atau kesehatan mental.
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan
mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap
lingkungan sosial) (Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003).
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab
terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri
dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto
Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental
adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang
dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility)
Keberadaan seseorang terhadap
Stressor berbeda-beda karena faktor
genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas
stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
B.
Dampak Kesehatan
Mental
·
Pola negatif (salabiy), bahwa
kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh
al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah).
·
Pola positif (ijabiy), bahwa
kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian diri sendiri dan
terhadap lingkungan sosialnya.
C.
Ciri-ciri Kesehatan Mental
Ciri-ciri kesehatan mental dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:
1)
Memiliki sikap batin (Attidude)
yang positif terhadap dirinya sendiri.
2)
Aktualisasi diri.
3)
Mampu mengadakan integrasi dengan
fungsi-fungsi yang psikis ada.
4)
Mampu berotonom terhadap diri
sendiri (Mandiri).
5)
Memiliki persepsi yang obyektif terhadap
realitas yang ada.
6)
Mampu menselaraskan kondisi
lingkungan dengan diri sendiri. (Jahoda, 1980).
D.
Hubungan antara
Kesehatan Mental dengan Kondisi Psikis Manusia
Pada abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan
medis, namun pada perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari
bahwa adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia.
Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia menderita gangguan fisik yang
disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental
dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikomatik).
Memasuki abad 19 konsep kesehatan mental mulai berkembang dengan pesatnya
namun apabila ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang
kesehatan mental masih bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari
kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat dalam
menghadapi masalah dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep
sekarang ini dan disini, tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu,
masa kini dan masa yang akan datang.
Jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki
konsep jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang
serta disini, agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam kehidupan
manusia, termasuk terhadap kesehatan.
Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
E.
Hubungan Kesehatan
Mental dengan Pendidikan Agama
a. Agama dan Kesehatan Mental
Agama tampaknya memang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama
mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian
maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama
sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena
manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk
kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern
manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati
nurani (conscience of man).
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena
pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam (QS Ar Ruum 30:30) Artinya:”Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui fitrah Allah”, maksudnya
ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama
tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar.
mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
b. Agama sebagai Terapi Kesehatan
Mental
Agama sebagai terapi kesehatan
mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di
antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah (QS An Nahl
16:97) Artinya : “ Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.
Ditekankan dalam ayat Ini bahwa
laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal
saleh harus disertai iman (QS Ar Ra’ad 13:28) Artinya : “ (yaitu) orang-orang
yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan menginga Allah-lah
hati menjadi tenteram “.
Dalam Islam, Ada tiga pola yang dikembangkan untuk mengungkap metode
perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental: Pertama, metode tahalli, takhalli,
dan tajalli; Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat; dan
ketiga, metode iman, islam, dan ihsan. Di sini, kita lebih cenderung memilih
pola yang ketiga.
1. Metode Imaniah
Iman secara harfiah diartikan
dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah). Orang yang beriman
berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan dalam menghadapi
problem hidup.
Dengan iman, seseorang memiliki
tempat bergantung, tempat mengadu, dan tempat memohon apabila ia ditimpa
problema atau kesulitan hidup, baik yang berkaitan dengan perilaku fisik maupun
psikis. Ketika seseorang telah mengerahkan daya upayanya secara maksimal untuk
mencapai satu tujuan, namun tetap mengalami kegagalan, tidak berarti kemudian
ia putus asa atau malah bunuh diri. Keimanan akan mengarahkan seseorang untuk
mengoreksi diri apakah usahanya sudah maksimal atau belum. Sejalan dengan
hukum-hukum-Nya atau tidak. Jika sesuai dengan hukum-hukum-Nya, tetapi masih
menemu ikegagalan, hal yang perlu diperhatikan adalahhikmah dibalik
kegagalan tersebut. Apakah Allah SWT menguji kualitas keimanannya melalui
kegagalan ataukah Dia mengasihi hamba-Nya yang salih supaya ia tidak sombong
atau angkuh ketika memperoleh kesuksesan.
2. Metode Islamiah
Islam secara etimologi memiliki
tiga makna, yaitu penyerahan dan ketundukan (al-silm), perdamaian dan
keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah).
Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim (syakhshiyah
al-muslim) yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat
menyesuaikan diri dalam setiap kondisi. Kondisi seperti itu merupakan
syarat mutlak bagi terciptanya kesehatan mental.
Kepribadian muslim menimbulkan
lima karakter ideal.
·
Pertama, karakter
syahadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari
segala belenggu dan dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif, seperti materi
dan hawa nafsu.
“Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? “ (Q.S.
Al-Furqon: 43).
·
Kedua, karakter mushalli,
yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah (ilahi) dan dengan sesama
manusia (insani). Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir, sedang komunikasi
insaniah ditandai dengan salam. Karakter mushalli juga menghendaki kesucian
lahir dan batin. Kesucian lahir diwujudkan dalam wudhu (Q.S. Al-Maidah:6),
sedang kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyukan (Q.S.
al-Mukminun: 1-2).
·
Ketiga, karakter muzakki,
yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan kesucian jiwanya
(Q.S. At-Taubah: 103). Karakter Muzakki menghendaki adanya pencarian harta
secara halal dan mendistribusikannya dengan cara yang halal pula. Ia menuntut
adanya produktifitas dan kreativitas.
·
Keempat, karakter sha’im,
yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan nafsu-nafsu rendah dan
liar. Di antara karakter sha’im adalah menahan makan, minum, hubungan
seksual pada waktu, dan tempat dilarang.
·
Kelima,
karakter hajji, yaitu karakter yang mau mengorbankan harta,
waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT. Karakter ini
menghasilkan jiwa yang egaliter, memiliki wawasan inklusif dan pluralistik,
melawan kebatilan, serta meningkatkan wawasan wisata spiritual.
3. Metode Ihsaniah
Ihsan secara bahasa
berarti baik. Orang yang baik (muhsin) adalah orang yang mengetahui akan
hal-hal baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik, dan dilakukan dengan
niatan baik pula.
Metode ini apabila
dilakukan dengan benar akan membentuk kepribadian muhsin (syakhshiyah
al-muhsin) yang dapat ditempuh melalui beberapa tahapan.
·
Pertama, tahapan permulaan
(al-bidayah). Tahapan ini disebut juga tahapan takhalli.
Takhalli adalah mengosongkan diri dari segala sifat-sifat kotor , tercela, dan
maksiat.
·
Kedua, tahapan
kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujahadat). Pada tahapan ini
kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat,
kemudian ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah
laku yang baik. Tahapan ini disebut juga tahalli .
·
Ketiga, tahapan merasakan
(al-muziqat). Pada tahapan ini, seorang hamba tidak sekadar menjalankan
perintah Khaliknya dan menjauhi larangan-Nya, namun ia merasa kelezatan,
kedekatan, kerinduan, dengan-Nya. Tahapan ini disebut Tajalli. Tajalli
adalah menampakkannya sifat-sifat Allah SWT pada diri manusia setelah
sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir yang menghalangi menjadi sirna.
Kecerdasan qalbiyah merupakan
akibat dari kesehatan mental seseorang yang tidak sekedar hadir begitu saja,
namun memerlukan proses dinamika seiring dengan perjalanan hidup seseorang itu
sendiri. Dalam kecerdasan qalbiyah ditekankan pemanfaatan potensi manusia
secara integral dalam hubungannya dengan pengembangan kepribadian, hal ini
haruslah disertai prinsip yang berguna dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan mental serta pencegahan terhadap gangguan-gangguan mental.
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prinsip yang didasarkan atas
sifat manusia, meliputi:
a)
Kesehatan dan penyesuaian mental
memerlukan atau bagian yang tidak terlepas dari kesehatan fisik dan integritas
organisme
b)
Untuk memelihara kesehatan mental
dan penyesuaian yang baik, perilaku manusia harus sesuai dengan sifat manusia
sebagai pribadi yang bermoral, intelektual, relegius, emosional dan sosial.
c)
Kesehatan dan penyesuaian mental
memerlukan integrasi dan pengendalian diri, yang meliputi pengendalian
pemikiran, imajinasi, hasrat, emosi dan perilaku
d)
Dalam pencapaian dan khususnya
memelihara kesehatan dan penyesuaian mental, memperluas pengetahuan tentang
diri sendiri merupakan suatu keharusan
e)
Kesehatan mental memerlukan
konsep diri yang sehat, yang meliputi: penerimaan diri dan usaha yang realistis
terhadap status atau harga dirinya sendiri
f)
Pemahaman diri dan penerimaan
diri harus ditingkatkan terus menerus memperjuangkan untuk peningkatan diri dan
realisasi diri jika kesehatan dan penyesuaian mental hendak dicapai
g)
Stabilitas mental dan penyesuaian
yang baik memerlukan pengembanagn terus-menerus dalam diri seseorang mengenai
kebaikan moral yang tertinggi, yaitu: hokum, kebijaksanaan ketabahan, keteguhan
hati, penolakan diri, kerendahan hati, dan moral
h)
Mencapai dan memelihara kesehatan
dan penyesuaian mental tergantung kepada penanaman dan perkembangan kebiasaan
yang baik
i)
Stabilitas dan penyesuaian mental
menuntut kemampuan adaptasi, kapasitas untuk mengubah meliputi mengubah situasi
dan mengubah kepribadian
j)
Kesehatan dan penyesuaian mental
memerlukan perjuangan yang terus-menerus untuk kematangan dalam pemikiran,
keputusan, emosionalitas dan perilaku
k)
Kesehatan dan penyesuaian mental
memerlukan belajar mengatasi secara efektif dan secara sehat terhadap konflik
mental dan kegagalan dan ketegangan yang ditimbulkannya.
2. Prinsip yang didasarkan atas
hubungan manusia dengan lingkungannya, meliputi:
a)
Kesehatan dan penyesuaian mental
tergantung kepada hubungan interpersonal yang sehat, khususnya di dalam
kehidupan kluarga.
b)
Penyesuaian yang baik dan
kedamaian pikiran tergantung kepada kecukupan dalam kepuasan kerja.
c)
Kesehatan dan penyesuaian mental
tanpa distorsi dan objektif.
3. Prinsip yang didasarkan atas
hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi:
a)
Stabilitas mental memerlukan
seseorang mengembangkan kesedaran atas realitas terbesar daripada dirinya yang
menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan yang fundamental
b)
Kesehatan mental dan ketenagan
hati memerlukan hubungan yang konstan antara manusia dengan Tuhannya.
(Schneiders dalam Notosoedirjo
& Latipun, 2001:29-30)
Dengan prinsip-prinsip
sebagaimana disebutkan di atas, maka potensi manusia perlu dikembangkan dengan latihan-latihan
dan pembiasaan-pembiasaan tertentu dalam mewujudkan pribadi yang utama, yaitu
pribadi yang memiliki kecerdasan qalbiyah. Hanna Djumhana Bastaman
(1995:151-152) menawarkan tiga cara untuk peningkatan diri yang semuanya
merupakan strategi sadar untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.
·
Cara pertama adalah hidup
secara islami, dalam arti berusaha secara sadar untuk mengisi kegiatan
sehari-hari dengan hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai
aqidah, syari’ah dan akhlak, aturan-aturan Negara, dan norma-norma kehidupan
bermasyarakat, serta sekaligus berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang agama
dan aturan-aturan yang berlaku.
·
Cara kedua adalah melakukan
latihan intensif yang bercorak psiko-edukatif. Misalnya yang dikemas dalam
program dan paket-paket pelatihan pengembangan pribadi, seperti TA
(Transactional Analysis), Asertif (Assertiveness), Pengenalan dan Pengembangan
Diri (Self Development), AMT (Achievement Motivation Training), Menjadi Orang
Tua Efektif (Parent Effectiveness Training), Komunikasi Lintas Budaya
(Trancultural Communication). Semuanya bertujuan meningkatkan aspek-aspek
psiko-sosial yang positif dan mengurangi aspek-aspek negatif, baik yang masih
potensial maupun yang sudah teraktualisasi dalam perilaku, tentunya semuanya
itu harus dimodifikasi secara mandasar dengan landasan dan warna Islami. Dengan
pelatihan yang bercorak psiko-edukasi ini, diharapkan menyadarkan diri akan
keunggulan dan kelemahannya, mampu menyesuaiakan diri, menemukan arti dan
tujuan hidupnya dan menyadari serta menghayati betapa pentingnya meningkatkan
diri.
·
Cara ketiga yaitu dengan
pelatihan disiplin diri yang lebih berorientasi spiritual-relegius , yakni
mengintensifkan dan meningkatkan kualitas ibadah, contohnya dengan berdzikir
(QS. Al-Baqarah: 152). Dzikrullah akan berpengaruh terhadap kematangan pribadi
dan kesehatan jiwa, apalagi hasil dari shalat yang dimasyhurkan sebagai tiang
agama (imaduddin), merupakan mi’raj bagi kaum beriman (ash-shalaatu mi’rajul
mu’miniin), dan dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar (inna shalaata
‘anil fakhsyaa-I wal munkar).
Para nabi dan orang-orang yang salih memiliki kecerdasan qalbiah melalui
cara pensucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan latihan-latihan spiritual
(al-riyadha). Dengan demikian untuk mendapatkan bentuk kecerdasan ini tidak
hanya berpangku tangan tetapi harus diusahakan secara istiqamah dengan
mensucikan diri dari hal-hal yang haram dan dilarang Allah dan Rasul-Nya, serta
membiasakan diri dengan latihan-latihan spiritual, banyak membaca baik ayat-ayat
Qauliah dengan merenungkan maknanya dan merefleksikan dalam tindak-tanduk
perbuatan sehari-hari, maupun ayat-ayat Kauniyah yang ada di alam semesta untuk
dikaji dengan penelitian-penelitian sebagai dasar mengembangkan kehidupan yang
bermakna.
4.
Kesehatan Mental:
Solusi Pengembangan Kecerdasan Qalbiah
Apabila hamba Allah telah berhasil melakukan pendidikan dan pelatihan
penyehatan, pengembangan dan pemberdayaan jiwa (mental),--seperti yang ditulis
M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky (2001)--maka ia akan dapat mencapai tingkat
kejiwaan atau mental yang sempurna, yaitu akan tersingkap
·
Pertama, Kesempurnaan
Jiwa, yaitu integritasnya jiwa muthmainnah (yang tentram), jiwa
radhiyah (jiwa yang meridhai), dan jiwa yang mardhiyah (yang diridhai) sehingga
memiliki stabilitas emosional yang tinggi dan tidak mudah mengalami stress,
depresi dan frustasi. Jiwa ini selalu akan mengajak pada fitrah Ilahiyah
Tuhannya. Indikasi hadirnya jiwa ini akan terlihat pada prilaku, sikap dan
gerak-geriknya yang tenang, tidak tergesa-gesa, penuh pertimbangan dan
perhitungan yang matang, tepat dan benar, tidak terburu-buru untuk bersikap
apriori dan berprasangka negatif. Jiwa radhiyah akan mendorong diri bersikap
lapang dada, tawakkal, tulus ikhlas dan sabar dalm mengaplikasikan perintah
Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya dan meneima dengan lapang dada segala
ujian dan cobaan yang datang dalam hidup dan kehidupannya, dalam artian
hampir-hampir tidak pernah mengeluh, merasa susah, sedih dan takut menjalani
kehidupan ini (lihat QS. Yunus: 62-64). Sedangkan jiwa mardhiyah adalah jiwa
yang telah memperoleh title dan gelar kehormatan dari Allah swt. Sehingga
keimanan, keislaman,dan keihsanannya tidak akan pernah mengalami erosi,
dekadensi dan distorsi. Dalam hal ini diberikan otoritas penuh kepada jiwa
untuk berbuat, berkarya dan beribadah di dalam ruang dan waktu Tuhannnya yang
terlepas dari jangkauan makhluk. (periksa QS. Al-Fajr: 27-30).
·
Kedua, Kecerdasan Uluhiyah, yaitu kemampuan
fitrah seseorang hamba yang shalih untuk melakukan interaksi vertikal dengan
Tuhannya; kemampuan mentaati segala apa yang telah diperintahkan dan menjauhi
diri dari apa yang dilarang dan dimurkai-Nya serta tabah terhadap ujian dan
cobaan-Nya. Sehingga dengan kecerdasan ini akan terhindar dari sikap menyekutukan
Allah (syirik), sikap menganggap remeh hukum-hukum-Nya atau sikap menunda-nunda
diri untuk melakukan kebaikan dan kebenaran (fasiq), sikap suka melanggar hukum
Allah (zhalim), sikap mendua dihadapan-Nya (nifaq), dan sikap suka mengingkari
atau mendustakan ayat-ayat-Nya (kufur). Kedekatan Allah akan membuat hamba-Nya
menyaksikan kebesaran dan kesucian-Nya (ihsan) dengan interaksi vertikal yang
bersifat transendental, empirik dan hidup, bukan spekulasi dan ilusi. Firman
Allah: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
sesungguhnya Aku adalah dekat” (QS. Al-Baqarah: 186), “Dan Kami lebih dekat
kepada manusia daripada urat lehernya” (QS.Qaaf:16). Jadi, kecerdasan uluhiyah
adalah kesempurnaan fitrah yang dimiliki oleh seorang hamba yang shalih,
sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dalam setiap aktifitasnya, merasakan
bekasan-bekasan pengingkaran, kedurhakaan dan dosa, dan mampu mengalami
mukasyafah akal fikiran, qalb dan inderawi.
·
Ketiga, Kecerdasan Rububiyah, yaitu
kemampuan fithrah seorang hamba yang shalih dalam hal: memelihara dan menjaga
diri dari hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupanya (QS. At-Taubah:112);
mendidik diri agar menjadi hamba yang pandai menemukan hakekat citra diri
dengan kekuatan ilmu (QS. Al-Kahfi:65); membimbing diri secara totalitas patuh
dan tunduk kepada Allah serta dapat memberikan kerahmatan pada diri dan
lingkungannya (“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka…”(QS. At-Tahrim: 6); menyembuhkan dan menyucikan diri
dari penyakit dan gangguan yang dapat melemahkan bahkan menghancurkan potensi
jiwa, akal fikiran, qalbu dan inderawi di dalam menangkap dan memahami
kebenaran-kebenaran hakiki dengan melakukan pertaubatan dan perbaikan diri
seutuhnya (An-Nisa’:108). Dengan demikian indikasi seseorang yang telah
memperoleh kecerdasan rububiyah biasanya ia memiliki kekuatan, kewibawaan dan
otoritas yang sangat kuat dalam hal menanamkan nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran, mempengaruhi dan mengajak untuk melakukan perbaikan dan perubahan
yang positif pada prilakum sikap dan penampilan yang tulus dan lapang dada
tanpa adanya paksaan dan tekanan baik kepada dirinya atau orang lain dan
lingkungannya; memberikan penyembuhan terhadap penyakit, baik penyakit yang
bersifat psikologis, spiritual, moral ataupun fisik; dan memberikan perawatan
terhadap kualitas keimanan, keislaman, keihsanan baik terhadap diri maupun
lingkungan sekitarnya.
·
Keempat, Kecerdasan
Ubudiyah, yitu kemampuan fitrah seseorang yang shalih dalam
mengaplikasikan ibadah dengan tulus tanpa merasa terpaksa dan dipaksa, akan
tetapi menjadikan ibadah sebagai kebutuhan yang sangat primer dam merupakan
makanan bagi ruhani dan jiwanya. Firman Allah “Kami telah menjadikan mereka itu
sebagai pemimpin-pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami dan
telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah”
(Al-Ambiyaa’:73). Jadi kecerdasan ubudiyah suatu anugerah dari Allah swt berupa
kemampuan dan skill mengaplikasikan sikap penghambaan sangat tulus dan
otomatis, baik dalam keadaan sendiri maupun jamaah, baik secara terang-terangan
atau sembunyi-sembunyi, baik secara vertikal atau horisontal, baik dalam
kondisi bagaimanapun, dimanapun dan kapanpun.
·
Kelima, Kecerdasan Khuluqiyah, ialah kemampuan
fitrah seseorang yang shalih dalam berperilaku, bersikap dan berpenampilan
terpuji. Dalam hal ini terintegrasi dalam akhlak yang baik. Suatu perbuatan
atau prilaku dapat dikatakan sebagai akhlak apabila memenuhi dua syarat, yaitu
:
1.
perbuatan dilakukan dengan
berulang-ulang. Apabila perbuatan hanya dilakukan sesekali saja, maka perbuatan
itu tidak dapat dikatakan sebagai akhlak.
2.
perbuatan timbul dengan mudah
tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dalam sehingga ia benar-benar merupakan
suatu kebiasaan. Jika perbuatan itu timbul karena terpaksa atau setelah
dipikirkan atau dipertimbangkan secara matang, tidaklah disebut akhlak. Karena
akhlak Islamiyah mempunyai ciri yaitu kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyah
al-muthlaqah), kebaikannya bersifat menyeluruh (as-salahiyyah al-‘ammah),
tetap, langgeng dan mantap, kewajiban yang harus dipatuhi (al-ilzam
al-mustajab), dan pengawasan yang menyeluruh (ar-raqabah al-muhithah). Firman
Allah “Sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak (budi pekerti) yang agung”
(QS. Al-Qalam: 4), Hadits Nabi “Sesungguhnya aku telah diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).
Dengan demikian, atas
tersingkapnya karakter lima kecerdasan sebagaimana disebutkan di atas,
merupakan pengejawantahan dari wujud kesehatan mental sebagai solusi
pengembangan qalbiah itu sendiri. Adapun bentuknya terefleksikan dari struktur
kepribadian. Jika struktur dalam kendali kalbu, maka komponen nafsani manusia
memiliki potensi positif, yang apabila dikembangkan secara maksimal akan
mendatangkan kecerdasan yang teraktualisasikan sebagai kecerdasan qalbiyah yang
meliputi: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral,
kecerdasan spiritual, dan kecerdasan beragama. Dari sini insyaallah potensi
manusia dalam aktualisasinya sebagai khalifah fil ardy akan mewujudkan sosok
insan kamil yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin.
c. Gangguan Mental
Gangguan mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku
yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut
baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan
alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini
dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya
fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini
sesuai dengan Al-Quran (QS. Al-Baqoroh 2:10)
Artinya: Dalam hati
mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya;
dan bagi mereka
siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta yakni keyakinan mereka
terdahap kebenaran nabi Muhammad s.a.w. lemah.
Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap
nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam.
Adapun gangguan mental yang
dijelaskan oleh (A. Scott, 1961) meliputi beberapa hal:
1)
Salah dalam penyesuaian sosial,
orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan dengan kelompok
dimana dia ada.
2)
Ketidak bahagiaan secara
subyektif.
3)
Kegagalan beradaptasi dengan
lingkungan.
4)
Sebagian penderita gangguan
mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit, namun ada sebagian yang
tidak mendapat pengobatan tersebut.
Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya
dikatakan mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan
penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan
pribadi sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak
mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain
harus mengetahui potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.
KESIMPULAN
Solusi terbaik
untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan
mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental
seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri
dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai
ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik
kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.
Hal ini dapat
ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri
terhadap seluruh aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan
lingkungannya akan gagal dalam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk
hidup bersama, bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu
berinteraksi, hal ini sesuai dengan konsep sosiologi modern yaitu manusia
sebagai makhluk Zoon Politicon.
DAFTAR PUSTAKA
Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, Abdul Mujib, M.Ag. Jusuf Mudzakir, M.Si
Manfaat Daun Dewa Bagi Kesehatan dan Pengobatan
BalasHapusTips Kecantikan Menurut Zodiak
Siapakah Pemenang D Academy 2 Indosiar?
Cara Download Video Di YouTube Tanpa Software
Tips Menghemat Baterai Smartphone Tanpa Aplikasi
Kisah Dokter yang Mengoperasi Perutnya Sendiri
Kesehatan Mental Dalam Islam
Misteri Kerangka Manusia yang Hidup di Jaman Nabi Nuh
Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.
BalasHapus