BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibnu 'Araby dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali. Lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Juli 1165 M, di Kota Marsia, ibukota Andalusia Timur (kini Spanyol), Ibnu 'Araby bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.
Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak terkecuali Ibnu 'Araby. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia.
Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme 'Araby kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan kepribadian Ibnu 'Araby. Kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sastra. Karena itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.
Meski Ibnu 'Araby belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira'ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun'im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis madzhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu 'Araby sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.
Ibnu 'Araby membangun metodologi orisinal dalam menafsirkan Alquran dan Sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para pendahulunya. Hampir seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang.
B. Rumusan Masalah
Berdsarkan
latar belakang di atas , penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana biografi Ibnu ‘Arabi ?
2.
Konsep dan Ajaran Ibnu ‘Arabi?
C. Tujuan
Sejalan
dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan :
1.
Untuk
mengetahui biografi Ibnu ‘Arabi
2.
Untuk mengetahui Konsep dan Ajaran Ibnu ‘Arabi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu ‘Arabi
Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai,
sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan
dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan
”Muhyiddin” (Sang Penghidup Agama). Kendati tidak mendirikan tarekat
populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas
para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas
ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun filosofis (Chittick, dalam
Nasr (ed.), 2003: 64)
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn
Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun,
Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa
pergi keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi
pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah
satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria.
Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya
menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa
pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun
menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi (Addas, 2004: 43-4)
Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur
Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah
keluarga berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk
mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan
dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke
Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang
putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân
al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang
syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid
terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).
Dalam perjalanan menyertai kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn
‘Arabi bermukim sementara waktu di Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn
al-Jami’, seseorang yang memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr.
Selama beberapa tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah,
Mesir, serta kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim
ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi
yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi
memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi
nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir
(582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.
Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di
Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai
akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din,
ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti
Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah
dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah)
untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun
menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang
menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa
dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi
menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris
seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis
(Chittick dalam Nasr, 66)
Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan
tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun. Pencapaian
spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan
bahkan Barat, hingga sekarang.
B.
Konsep dan Ajaran Ibn ‘Arabi
1.
Konsep
Tentang Wahdatul Wujud
Dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ‘Arabi
menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak“ yaitu zat yang mandiri, yang
keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apa pun. di halaman lain dari
kitab futuhat dia menulis “ pertama-tama yang harus diketahui bahwa Allah SWT
adalah zat yang awal, yang tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya tidak ada
sesuatupun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan
sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan yang maha Esa, yang tidak berhajat pada
alam semesta.
Ibnu ‘Arabi dikenal dengan pembawa ajaran wahdat
al-wujud (kesatuan wujud) yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya
satu yaitu hanya ada satu wujud yang sejati, yakni Allah SWT (al-Haqq). Sedang
alam ini tidak lain adalah sekedar dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang
sejati tersebut yang pada dirinya (alam) tidak memilki wujud sejati tau mutlak
seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan lewat
wajah dengan gambar, wajah itu muncul dari sejumplah cermin. Ibnu ‘Arabi pernah
berkata wajah itu satu tetapi cermin seribu, sehingga wajah yang sejati itu
terpantul dalam ribuan cermin, dan karena kaulitas dan posisi cermin berbeda
antara satu cermin dengan cermin yang lain, maka pantulan wajah sama dan satu
itu pun tampak berbeda-beda. itulah sebabnya. maka sekalipun Tuhan itu esa
tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis jenis.
Inti ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu
Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of
existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak
ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang Pencipta. Yang tampak hanya
baying-bayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan, yang merupakan sumber
bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada karena seluruh a lam ini
tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata
lain, yang ada hanya satu" wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang
lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Ibnu ‘Arabi menggambarkan bentuk tajalli dengan
simbol wajah dengan cermin, diibaratkan semisal kita ingin melihat wajah kita,
kita tidak dapat melihatnya kecuali dalam cermin, yang nantinya kelihatan dalam
cermin kelihatan gamblang dan jelas, tetapi kita tahu bahwa satu-satunya wajah
yang riel adalah yang ada pada diri kita, bukan yang terpantul dalam cermin.
Karena yang ada dalam cermin hanyalah sebuah bayangan.
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata
oleh karena Tuhan sebagai yang zhahir memperlihatkan dirinya dalam suatu “wadah
manifestasi” yakni di dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak dapat
memperlihatkan dirinya sebagai yang batin, karena menurut definisi, Tuhan
sebagai yang batin tidak dapat dijangkau dan diketahui di dalam kosmos ini.
Setiap makhluk merupakan wadah manifestasi bagi
wujud demikian juga masing-masing adalah bentuk (shurah) dari wujud. tidak ada
kosmos dapat memiliki wujud selain berasal dari al-Haqq, sebuah hadits berbunyi
“Bahwa Tuhan menciptakan Adam menurut bentuknya sendiri. Ibnu ‘Arabi
menunjukkan banyak sekali fakta bahwa hadits menggunakan nama Tuhan-(Allah)
yakni nama yang komprehensif yang menjadi rujukan semua nama selain Tuhan. oleh
karena itu Manusia diciptakan lengkap dengan kemampuan potensialnya untuk
menampilkan Tuhan sebagai Tuhan, yakni Tuhan yang di namai seluruh nama-nya,
sementara makhluk lainnya di dalam kosmos hanya mampu menyuguhkan nama Tuhan
tertentu saja dan terbatas.
Bagi Ibnu ‘Arabi alam semesta adalah penampakan
(tajalli) Tuhan, Tuhan dan alam semesta tidak bisa dipahami kecuali sebagai
kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis. kontradiksi ini tidak hanya
bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak seperti dalam uraian
al-Qur’an bahwa Tuhan adalah yang tersembunyi (al Bathin) sekaligus yang tampak
(al-Dzahir), yang esa (al-Wahid) sekaligus yang banyak (al-Katsir), yang
terdaulu (al-Qadim) sekaligus yang baru (al-Hadits) yang ada (al-Wujud)
sekaligus yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi realitas adalah
satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan sekaligus sifat
kemakhlukkan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen eksistensi
sekaligus non eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara
bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya
satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik pula. Tidak ada
perbedaan antara keduanya (Khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau
ada yang mengira bahwa antara wujud Khalik dan makhluk ada perbedaan, hal itu
dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas
kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan
dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan
Ibnu ‘Arabi sebagai berikut:
“Maha suci
Tuhan yang lelah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat
segala sesuatu itu”
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya
adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara
wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud yang baru yang disebut
makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (penyembah) dengan ma 'bud (yang
disembah). Bahkan antara yang penyembah dan yang disembah adalah satu.
Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya Kalau
antara Khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu
‘Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang
satu. tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik
dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang
keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang
satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu
yang tidak terbilang dan berpisah.
Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa
Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakanlah alam
sebagai cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali ingin melihat
diri-Nya, Dia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek
al-Haqq. Jadi, walaupun segala benda ini kelihatannya banyak, sebenarnya yang
ada hanya satu wujud, yaitu al-Haqq.
Untuk menjelaskan ontologis Tuhan dan alam semesta,
Ibnu ‘Arabi menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan.
simbol ini pertama. untuk menjelaskan sebab penciptaan alam yakni bahwa
penciptaan alam ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin
memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah harta simpanan (kanz nahfi) yang
tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai hadits Rasul yang menyatakan hal
itu. Kedua untuk menjelaskan hubungan yang satu dengan yang banyak dan beragam
dalam semesta. yakni Tuhan yang bercermin adalah satu tetapi gambar-nya banyak
dan beragam. Dan apa yang tampak dalam cermin adalah dia, sama sekali bukan
selainya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.
Penggambaran tersebut sejalan dengan penyatuan dua
paradigma tasybih dan tanzih, imanen dan transenden yang digunakan Ibnu ‘Arabi
dari segi tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah
perwujudan dan aktualisasi sifatsifatnya. Dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan
alam, karena alam terikat ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan
mutlak. Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan “huwa la huwa” (Dia bukan Dia-yang
kita bayangkan) sedekat dekat Manusia menyatu dengan Tuhan, tetapi tidak akan
pernah menyatu dengan Tuhan, ia hanya menyatu dengan asma dan sifat-sifatnya
menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya.
Ibnu ‘Arabi membuat keterkaitan yang sangat jelas
manifestasi sempurna wujud dalam peran Manusia di dalam kosmos. dengan
doktrinya yang terkenal ”manusia sempurna” yakni manusia yang mampu
mengaktualisasikan semua potensialitas batinnya sesuai sifat dan asma Tuhan
secara lengkap dan total. Di satu pihak dalam Manusia sempurna yang sangat
berbeda dengan makluk lain. manusia yang mampu mewujudkan kausalitas yang terpuji.
Insan kamil ini menjadi teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang dan segala
kebaikan moral serta spiritual manusia. Mereka membibing individu dan
masyarakat ke tingkatan tertinggi yakni Tuhan, dan insane kamil bertindak
mencerminkan tindakan al-Haqq, dan mengarahkan kepada kebahagiaan tertinggi di
alam akhirat, dalam manifastasi manuisawinya Ia seperti Nabi dan para auliya’.
Manusia sempurna adalah tujuan Tuhan dalam
menciptakan kosmos tatkala disadari melalui insan kamil lah. Dia dapat
menampakkan sifat-sifat-Nya secara total, hanya di dalam diri insan kamil saja
terbentang kesempatan bagi wujud untuk menggapai kesempurnaan, tidak ada
makhluk selain Manusia yang memiliki kesiapan yang dibutuhkan dalam menampilkan
sifat Tuhan. jika wujud di dalam esensinya yang tidak tampak, maka ia
sepenuhnya bukan fenomenalnya, hanya di dalam diri manusia sempurna (insan
kamil) yang sanggup menampilkan setiap nama Tuhan dalam keselarasan dan
keseimbangan secara sempurna.
2.
Konsep
Tentang Insan Kamil
Manusia adalah makhluk kecil bila dilihat dari segi
fisiologisnya, betapa tidak, bumi yang kita pijak ini saja tak akan nampak dari
ujung Galaksi Bumi apalagi dilihat dari Galaksi lain justru karena kecilnya
ukuran Bumi ini, apalah kita manusia yang ia barat semut yang merayap dipermukaan
bola raksasa Bumi. manusia ibarat sebuah titik kecil yang berlangsung hanya
sedetik. Itulah kakekat manusia juka dilihat dari sudut ruang dan waktu, Maka
seharusnya kita menyadari betapa tidak berartinya kita (manusia) dalam kosmos
yang luas ini jika dilihat dari fisiologisnya.
Namun manusia yang bisa disebut sebagai mikrokosmos
karena pada diri manusia mengandung seluruh unsur kosmik, dari mulai tingkat
mineral sampai tingkat manusia, bahkan menurut beberapa tokoh, manusia juga
mengandung unsur-unsur rohani, karena manusia juga memilki roh yang berasal
dari Tuhan. Maka apabila masing-masing tingkat wujud tersebut memantulkan
sifat-sifat tertentu dari Tuhan, dan Manusia sebagai cermin yang sempurna yang
mampu berpotensi memantulkan seluruh sifat-sifat Illahi. disitulah manusia
disebut insan kamil, jika manusia dapat mengaktualkan seluruh potensinya yang
ada dalam dirinya dan mampu mencerminkan sifat sifat Tuhan.
Insan kamil (manusia sempurna) adalah istilah yang
digunakan oleh kaum sufi untuk menamakan seorang Muslim yang telah sampai pada
keperingkat tinggi, yaitu peringkat seorang yang telah sampai pada fana’ fillah
(sirna di dalam Allah). Manusia menurut Ibnu ‘Arabi adalah tempat tajalli
(penampakan) diri Tuhan yang paling sempurna, karena Dia adalah al-kaun
al-jamil, atau manusia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos)
yang tercermin pada alam besar (makrokosmos), dan tergambar kepadanya
sifat-sifat keTuhanan. Oleh karena itulah manusia di angkat sebagai kholifah.
pada diri manusia terhimpun rupa Tuhan dan rupa alam, dimana subtansi Tuhan
dengan segala sifat dan asma-Nya tampak padanya. dia dalam sebuah cermin yang
menyingkapkan wujud Allah SWT.
Secara umum, istilah "insan kamil" sering
dimaknai orang sebagai manusia sempurna. menurut Al-Jilli insan kamil adalah
Roh Nabi Muhammad SAW. yang mengkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi Adam
hingga Nabi Muhammad, lalu para wali dan orang-orang saleh, sebagai cermin
Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya dan refleksi gambaran nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Al-Jilli melihat bahwa insan kamil (manusia sempurna)
merupakan nuskhah atau kopi Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis (artinya),
"Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha rahman." Hadis lain
menyebutkan (artinya), "Allah menciptakan Adam dalam bentuk
diri-Nya."
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jilli dekat
dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi
sifat Lahut dan Nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad.
Adapun Ibnu 'Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad
ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh
Nur Muhammad SAW. Meskipun Al-Jilli dianggap sebagai tokoh yang memopuler-kan
konsep insan kamil-nya, sesungguhnya konsep insan kamil ini sudah disinggung
sebelumnya oleh Ibnu 'Arabi. Menurut Ibnu 'Arabi, insan kamil adalah
mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab Dia memanifestasikan semua sifat dan
kesempurnaan Illahi, dan manifestasi semacam ini tidaklah sempurna tanpa perwujudan
penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan. Insan kamil adalah miniatur dari kenyataan
dan yang di maksud insan kamil menurut Ibnu ‘Arabi seperti yang di jelaskan
dalam kitabnya fusus al-hikam adalah:
·
Ain
Al-Haqq, artinya manusia adalah perwujudan dalam bentuknya sendiri dengan
segala keesaanya berbeda dengan segala sesuatu yang lain, meskipun al-Haqq
(Tuhan) ain segala sesuatu, tetapi segala sesuatu itu bukan ain (zat)-nya
karena ia hanya perwujudan sebagian asma-Nya, bukan Tuhan bertajalli
(menampakkan diri) pada sesuatu itu dalam bentuk zat-nya. Dan apabila kamu
berkata insan maka maksudnya adalah manusia sempurna dalam kemanusiaanya, yaitu
Tuhan bertajalli (menampakkan) diri dalam bentuk sifat dan asmanya sendiri
itulah yang di sebut dengan ain-Nya
·
al-insan
al-kamil (Manusia sempurna) dalam pandangan Ibnu ‘Arabi tidak bisa dilepaskan
kaitannya dengan paham adanya Nur Muhammad seperti ditegaskan: ketahuilah
bukanlah yang dimaksudkan dengan al-insan kamil kecuali Nur Muhammad, yaitu roh
Illahi yang dia tiupkan kepada Adam. oleh karenaitu Adam adalah esensi
kehidupan dan awal kejadian manusia. katakanlah Nabi Muhammad SAW adalah insane
kamil yang paling sempurna. (Alhaqiqah al Muhammadiyah.) dan dengan hakekat
Muhammad inilah orang bisa mencapai derajat insan kamil.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Banyak konsep yang menjelaskan tentang sufi
diantaranya seperti, sekumpulan orang-orang yang selalu mengutamakan
kepentingan akhirat daripada kepentingan duniawi dengan melakukan ibadah kepada
Allah SWT secara terus-menerus sehingga mereka merasa kedekatan dengan Tuhannya
tidak ada yang dapat membuat hijab antara mereka dengan sang Khaliq. Sebagian
ulama’ berpendapat bahwa sufi merupakan sekumpulan orang-orang yang yang
mengasingkan dirinya dari kehidupan bermasyarakat dan sering berkhlawat di
daerah pegunungan atau suatu tempat yang jauh dari kehidupan duniawi.
Ibnu Arabi merupakan salah seorang ulama’ sufi
yang terkenal dengan sentral ajarannya yang sering disebut dengan istilah wahdat
al-wujud yang bermakna satu kesatuan, maksudnya yaitu antara makhluk
dan sang Khalik jika dilihat dari hakekatnya pada dasarnya satu tidak ada
perbedaan. Dengan sang Khalik sebagai wujud yag hakiki, sedangkan makhluk
hanyalah bayangan dari sang khalik yang menyimpan sifat-sifat dari Allah SWT.
Dengan ajaran seperti ini banyak pertentangan dari ulama’ sufi mengenai ajaran
tersebut. Mereka beranggapan bahwa paham wahdat al-wujud mulai
melenceng jauh dari pemahaman tasawuf pada dasarnya.
Salah satu paham sufi yang terkenal dengan pemaknaan
bahwa hubungan antara makhluk dan Sang Khalik itu adalah satu, merupakan paham
yang dibawa oleh Ibnu Arabi dan yang kemudian akan lebih sering dikenal dengan
sebutn wahdat al-wujud. Banyak kecaman dan gugatan dari sufi yang
lainnya mengenai ajaran ini, dikarenakan inti dari paham ini yaitu yang
mengatakan bahwa Allah SWT dan manusia itu satu pada hakekatnya. Tapi Ibnu
Arabi menaggapi pendapatpendapat terebut dengan menyatakan alas an yang
bersifat ekstrim dan sulit dipahamai oleh pemikiran yang biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf antara Agama dan
Filsafat: Sebuah Kritik Metodologis. Bandung: Pustaka Hidayah.
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Toriquddin, Muhammad. 2008. Sekularitas Tasawuf,
dalam Dunia Modern. Malang: UIN-Malang Press.
C. Chittick, William. 2001. The Sufi Path of
Knowledge: Pengetahuan Spiritual Ibnu al-‘Araby. Yogyakarta: Qalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar