Sabtu, 01 Juni 2013

KESEHATAN MENTAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada umumnya, orang membicarakan tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental dalam bahasannya masing-masing. Belum banyak ditemukan sebuah uraian yang mencoba mencari titik temu atau titik singgung antara ketiga kajian tersebut. Oleh karena itu, uraian ini ditulis dengan harapan menjadi acuan perihal itu. Perlu disadari, sekalipun berbeda obyek kajian, tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental, ketiganya berurusan dengan soal yang sama, yakni soal jiwa. Secara sederhana ketiga kajian itu dapat dinyatakan sebagai berikut:
·         Tasawuf berurusan dengan soal penyucian jiwa dengan tujuan agar lebih dekat dihadirat Tuhannya.
·          Psikologi Agama berurusan dengan soal pengaruh ajaran agama terhadap perilaku kejiwaan para pemeluknya.sementara
·         Kesehatan Mental berurusan dengan soal terhindarnya jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan, kemampuan adaptasi kejiwaan, kemampuan pengendalian diri, dan terciptanya integritas kejiwaan seseorang.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi masalah dalam bahasan makalah ini, diantaranya :
1.      Dampak negatif dari kesehatan mental ?
2.      Definisi dari kesehatan mental ?
3.      Ciri-ciri dari kesehatan mental ?
4.      Hubungan antara kesehatan mental dengan kondisi dan psikis manusia?
5.      Bagaimanakah peran kesehatan mental dalam pendidikan islam ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui Dampak-dampak dari kesehatan mental.
2.      Mengetahui definisi dari kesehatan mental.
3.      Mengetahui ciri-ciri kesehatan mental.
4.      Memahami peran kesehatan mental dalam dunia pendidikan islam.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Kesehatan Mental
Pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya.
Zakiah Daradjat secara lengkap mendefinisikan kesehatan mental dengan ”terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan”.
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) (Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003).
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap
 Stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
B.     Dampak Kesehatan Mental
·         Pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah).
·         Pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya.

C.     Ciri-ciri Kesehatan Mental
Ciri-ciri kesehatan mental dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:
1)    Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2)    Aktualisasi diri.
3)    Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi yang psikis ada.
4)    Mampu berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri).
5)    Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada.
6)    Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri. (Jahoda, 1980).

D.    Hubungan antara Kesehatan Mental dengan Kondisi Psikis Manusia
Pada abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis, namun pada perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikomatik).
Memasuki abad 19 konsep kesehatan mental mulai berkembang dengan pesatnya namun apabila ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental masih bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini, tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki konsep jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang serta disini, agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan.
Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
E.     Hubungan Kesehatan Mental dengan Pendidikan Agama
a.      Agama dan Kesehatan Mental
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam (QS Ar Ruum 30:30) Artinya:”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui fitrah Allah”,  maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
b.      Agama sebagai Terapi Kesehatan Mental
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah (QS An Nahl 16:97) Artinya : “ Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.
Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman (QS Ar Ra’ad 13:28) Artinya : “ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan menginga Allah-lah hati menjadi tenteram “.
Dalam Islam, Ada tiga pola yang dikembangkan untuk mengungkap metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental: Pertama, metode tahalli, takhalli, dan tajalli; Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, islam, dan ihsan. Di sini, kita lebih cenderung memilih pola yang ketiga.
1.  Metode Imaniah
Iman secara harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah). Orang yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan dalam menghadapi problem hidup.
Dengan iman, seseorang memiliki tempat bergantung, tempat mengadu, dan tempat memohon apabila ia ditimpa problema atau kesulitan hidup, baik yang berkaitan dengan perilaku fisik maupun psikis. Ketika seseorang telah mengerahkan daya upayanya secara maksimal untuk mencapai satu tujuan, namun tetap mengalami kegagalan, tidak berarti kemudian ia putus asa atau malah bunuh diri. Keimanan akan mengarahkan seseorang untuk mengoreksi diri apakah usahanya sudah maksimal atau belum. Sejalan dengan hukum-hukum-Nya atau tidak. Jika sesuai dengan hukum-hukum-Nya, tetapi masih menemu ikegagalan, hal yang perlu diperhatikan adalahhikmah dibalik kegagalan tersebut. Apakah Allah SWT menguji kualitas keimanannya melalui kegagalan ataukah Dia mengasihi hamba-Nya yang salih supaya ia tidak sombong atau angkuh ketika memperoleh kesuksesan.


2.   Metode Islamiah
Islam secara etimologi memiliki tiga makna, yaitu penyerahan dan ketundukan (al-silm), perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah).
Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim (syakhshiyah al-muslim) yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan diri dalam setiap kondisi. Kondisi seperti itu merupakan syarat mutlak bagi terciptanya kesehatan mental.
Kepribadian muslim menimbulkan lima karakter ideal.
·  Pertama, karakter syahadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari segala belenggu dan dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif, seperti materi dan hawa nafsu. 
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? “ (Q.S. Al-Furqon: 43).
·  Kedua, karakter mushalli, yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah (ilahi) dan dengan sesama manusia (insani). Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir, sedang komunikasi insaniah ditandai dengan salam. Karakter mushalli juga menghendaki kesucian lahir dan batin. Kesucian lahir diwujudkan dalam wudhu (Q.S. Al-Maidah:6), sedang kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyukan (Q.S. al-Mukminun: 1-2).
·  Ketiga, karakter muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan kesucian jiwanya (Q.S. At-Taubah: 103). Karakter Muzakki menghendaki adanya pencarian harta secara halal dan mendistribusikannya dengan cara yang halal pula. Ia menuntut adanya produktifitas dan kreativitas.
·  Keempat, karakter sha’im, yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan nafsu-nafsu rendah dan liar. Di antara karakter sha’im  adalah menahan makan, minum, hubungan seksual pada waktu, dan tempat dilarang.
·   Kelima, karakter hajji, yaitu karakter yang mau mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT. Karakter ini menghasilkan jiwa yang egaliter, memiliki wawasan inklusif dan pluralistik, melawan kebatilan, serta meningkatkan wawasan wisata spiritual.



3. Metode Ihsaniah
Ihsan secara bahasa berarti baik. Orang yang baik (muhsin) adalah orang yang mengetahui akan hal-hal baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik, dan dilakukan dengan niatan baik pula.
Metode ini apabila dilakukan dengan benar akan membentuk kepribadian muhsin (syakhshiyah al-muhsin) yang dapat ditempuh melalui beberapa tahapan.
·  Pertama, tahapan permulaan (al-bidayah). Tahapan ini disebut juga tahapan takhalli. Takhalli adalah mengosongkan diri dari segala sifat-sifat kotor , tercela, dan maksiat.
·  Kedua, tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujahadat). Pada tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat, kemudian ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang baik. Tahapan ini disebut juga tahalli . 
·  Ketiga, tahapan merasakan (al-muziqat). Pada tahapan ini, seorang hamba tidak sekadar menjalankan perintah Khaliknya dan menjauhi larangan-Nya, namun ia merasa kelezatan, kedekatan, kerinduan, dengan-Nya. Tahapan ini disebut Tajalli. Tajalli adalah menampakkannya sifat-sifat Allah SWT pada diri manusia setelah sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir yang menghalangi menjadi sirna.
Kecerdasan qalbiyah merupakan akibat dari kesehatan mental seseorang yang tidak sekedar hadir begitu saja, namun memerlukan proses dinamika seiring dengan perjalanan hidup seseorang itu sendiri. Dalam kecerdasan qalbiyah ditekankan pemanfaatan potensi manusia secara integral dalam hubungannya dengan pengembangan kepribadian, hal ini haruslah disertai prinsip yang berguna dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta pencegahan terhadap gangguan-gangguan mental.
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia, meliputi:
a)      Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak terlepas dari kesehatan fisik dan integritas organisme
b)      Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku manusia harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi yang bermoral, intelektual, relegius, emosional dan sosial.
c)      Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan pengendalian diri, yang meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi, hasrat, emosi dan perilaku
d)     Dalam pencapaian dan khususnya memelihara kesehatan dan penyesuaian mental, memperluas pengetahuan tentang diri sendiri merupakan suatu keharusan
e)      Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, yang meliputi: penerimaan diri dan usaha yang realistis terhadap status atau harga dirinya sendiri
f)       Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus menerus memperjuangkan untuk peningkatan diri dan realisasi diri jika kesehatan dan penyesuaian mental hendak dicapai
g)      Stabilitas mental dan penyesuaian yang baik memerlukan pengembanagn terus-menerus dalam diri seseorang mengenai kebaikan moral yang tertinggi, yaitu: hokum, kebijaksanaan ketabahan, keteguhan hati, penolakan diri, kerendahan hati, dan moral
h)      Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada penanaman dan perkembangan kebiasaan yang baik
i)        Stabilitas dan penyesuaian mental menuntut kemampuan adaptasi, kapasitas untuk mengubah meliputi mengubah situasi dan mengubah kepribadian
j)        Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan perjuangan yang terus-menerus untuk kematangan dalam pemikiran, keputusan, emosionalitas dan perilaku
k)      Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi secara efektif dan secara sehat terhadap konflik mental dan kegagalan dan ketegangan yang ditimbulkannya.

2.      Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya, meliputi:
a)      Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan interpersonal yang sehat, khususnya di dalam kehidupan kluarga.
b)      Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada kecukupan dalam kepuasan kerja.
c)      Kesehatan dan penyesuaian mental tanpa distorsi dan objektif.

3.      Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi:
a)      Stabilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesedaran atas realitas terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan yang fundamental
b)      Kesehatan mental dan ketenagan hati memerlukan hubungan yang konstan antara manusia dengan Tuhannya.
(Schneiders dalam Notosoedirjo & Latipun, 2001:29-30)
Dengan prinsip-prinsip sebagaimana disebutkan di atas, maka potensi manusia perlu dikembangkan dengan latihan-latihan dan pembiasaan-pembiasaan tertentu dalam mewujudkan pribadi yang utama, yaitu pribadi yang memiliki kecerdasan qalbiyah. Hanna Djumhana Bastaman (1995:151-152) menawarkan tiga cara untuk peningkatan diri yang semuanya merupakan strategi sadar untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.
·  Cara pertama adalah hidup secara islami, dalam arti berusaha secara sadar untuk mengisi kegiatan sehari-hari dengan hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai aqidah, syari’ah dan akhlak, aturan-aturan Negara, dan norma-norma kehidupan bermasyarakat, serta sekaligus berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang agama dan aturan-aturan yang berlaku.
·  Cara kedua adalah melakukan latihan intensif yang bercorak psiko-edukatif. Misalnya yang dikemas dalam program dan paket-paket pelatihan pengembangan pribadi, seperti TA (Transactional Analysis), Asertif (Assertiveness), Pengenalan dan Pengembangan Diri (Self Development), AMT (Achievement Motivation Training), Menjadi Orang Tua Efektif (Parent Effectiveness Training), Komunikasi Lintas Budaya (Trancultural Communication). Semuanya bertujuan meningkatkan aspek-aspek psiko-sosial yang positif dan mengurangi aspek-aspek negatif, baik yang masih potensial maupun yang sudah teraktualisasi dalam perilaku, tentunya semuanya itu harus dimodifikasi secara mandasar dengan landasan dan warna Islami. Dengan pelatihan yang bercorak psiko-edukasi ini, diharapkan menyadarkan diri akan keunggulan dan kelemahannya, mampu menyesuaiakan diri, menemukan arti dan tujuan hidupnya dan menyadari serta menghayati betapa pentingnya meningkatkan diri.
·  Cara ketiga yaitu dengan pelatihan disiplin diri yang lebih berorientasi spiritual-relegius , yakni mengintensifkan dan meningkatkan kualitas ibadah, contohnya dengan berdzikir (QS. Al-Baqarah: 152). Dzikrullah akan berpengaruh terhadap kematangan pribadi dan kesehatan jiwa, apalagi hasil dari shalat yang dimasyhurkan sebagai tiang agama (imaduddin), merupakan mi’raj bagi kaum beriman (ash-shalaatu mi’rajul mu’miniin), dan dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar (inna shalaata ‘anil fakhsyaa-I wal munkar).
Para nabi dan orang-orang yang salih memiliki kecerdasan qalbiah melalui cara pensucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan latihan-latihan spiritual (al-riyadha). Dengan demikian untuk mendapatkan bentuk kecerdasan ini tidak hanya berpangku tangan tetapi harus diusahakan secara istiqamah dengan mensucikan diri dari hal-hal yang haram dan dilarang Allah dan Rasul-Nya, serta membiasakan diri dengan latihan-latihan spiritual, banyak membaca baik ayat-ayat Qauliah dengan merenungkan maknanya dan merefleksikan dalam tindak-tanduk perbuatan sehari-hari, maupun ayat-ayat Kauniyah yang ada di alam semesta untuk dikaji dengan penelitian-penelitian sebagai dasar mengembangkan kehidupan yang bermakna.

4.       Kesehatan Mental: Solusi Pengembangan Kecerdasan Qalbiah
Apabila hamba Allah telah berhasil melakukan pendidikan dan pelatihan penyehatan, pengembangan dan pemberdayaan jiwa (mental),--seperti yang ditulis M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky (2001)--maka ia akan dapat mencapai tingkat kejiwaan atau mental yang sempurna, yaitu akan tersingkap 
·       PertamaKesempurnaan Jiwa, yaitu integritasnya jiwa muthmainnah (yang tentram), jiwa radhiyah (jiwa yang meridhai), dan jiwa yang mardhiyah (yang diridhai) sehingga memiliki stabilitas emosional yang tinggi dan tidak mudah mengalami stress, depresi dan frustasi. Jiwa ini selalu akan mengajak pada fitrah Ilahiyah Tuhannya. Indikasi hadirnya jiwa ini akan terlihat pada prilaku, sikap dan gerak-geriknya yang tenang, tidak tergesa-gesa, penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang, tepat dan benar, tidak terburu-buru untuk bersikap apriori dan berprasangka negatif. Jiwa radhiyah akan mendorong diri bersikap lapang dada, tawakkal, tulus ikhlas dan sabar dalm mengaplikasikan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya dan meneima dengan lapang dada segala ujian dan cobaan yang datang dalam hidup dan kehidupannya, dalam artian hampir-hampir tidak pernah mengeluh, merasa susah, sedih dan takut menjalani kehidupan ini (lihat QS. Yunus: 62-64). Sedangkan jiwa mardhiyah adalah jiwa yang telah memperoleh title dan gelar kehormatan dari Allah swt. Sehingga keimanan, keislaman,dan keihsanannya tidak akan pernah mengalami erosi, dekadensi dan distorsi. Dalam hal ini diberikan otoritas penuh kepada jiwa untuk berbuat, berkarya dan beribadah di dalam ruang dan waktu Tuhannnya yang terlepas dari jangkauan makhluk. (periksa QS. Al-Fajr: 27-30).
·        Kedua, Kecerdasan Uluhiyah, yaitu kemampuan fitrah seseorang hamba yang shalih untuk melakukan interaksi vertikal dengan Tuhannya; kemampuan mentaati segala apa yang telah diperintahkan dan menjauhi diri dari apa yang dilarang dan dimurkai-Nya serta tabah terhadap ujian dan cobaan-Nya. Sehingga dengan kecerdasan ini akan terhindar dari sikap menyekutukan Allah (syirik), sikap menganggap remeh hukum-hukum-Nya atau sikap menunda-nunda diri untuk melakukan kebaikan dan kebenaran (fasiq), sikap suka melanggar hukum Allah (zhalim), sikap mendua dihadapan-Nya (nifaq), dan sikap suka mengingkari atau mendustakan ayat-ayat-Nya (kufur). Kedekatan Allah akan membuat hamba-Nya menyaksikan kebesaran dan kesucian-Nya (ihsan) dengan interaksi vertikal yang bersifat transendental, empirik dan hidup, bukan spekulasi dan ilusi. Firman Allah: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat” (QS. Al-Baqarah: 186), “Dan Kami lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya” (QS.Qaaf:16). Jadi, kecerdasan uluhiyah adalah kesempurnaan fitrah yang dimiliki oleh seorang hamba yang shalih, sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dalam setiap aktifitasnya, merasakan bekasan-bekasan pengingkaran, kedurhakaan dan dosa, dan mampu mengalami mukasyafah akal fikiran, qalb dan inderawi.
·        Ketiga, Kecerdasan Rububiyah, yaitu kemampuan fithrah seorang hamba yang shalih dalam hal: memelihara dan menjaga diri dari hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupanya (QS. At-Taubah:112); mendidik diri agar menjadi hamba yang pandai menemukan hakekat citra diri dengan kekuatan ilmu (QS. Al-Kahfi:65); membimbing diri secara totalitas patuh dan tunduk kepada Allah serta dapat memberikan kerahmatan pada diri dan lingkungannya (“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”(QS. At-Tahrim: 6); menyembuhkan dan menyucikan diri dari penyakit dan gangguan yang dapat melemahkan bahkan menghancurkan potensi jiwa, akal fikiran, qalbu dan inderawi di dalam menangkap dan memahami kebenaran-kebenaran hakiki dengan melakukan pertaubatan dan perbaikan diri seutuhnya (An-Nisa’:108). Dengan demikian indikasi seseorang yang telah memperoleh kecerdasan rububiyah biasanya ia memiliki kekuatan, kewibawaan dan otoritas yang sangat kuat dalam hal menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, mempengaruhi dan mengajak untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang positif pada prilakum sikap dan penampilan yang tulus dan lapang dada tanpa adanya paksaan dan tekanan baik kepada dirinya atau orang lain dan lingkungannya; memberikan penyembuhan terhadap penyakit, baik penyakit yang bersifat psikologis, spiritual, moral ataupun fisik; dan memberikan perawatan terhadap kualitas keimanan, keislaman, keihsanan baik terhadap diri maupun lingkungan sekitarnya. 
·       Keempat, Kecerdasan Ubudiyah, yitu kemampuan fitrah seseorang yang shalih dalam mengaplikasikan ibadah dengan tulus tanpa merasa terpaksa dan dipaksa, akan tetapi menjadikan ibadah sebagai kebutuhan yang sangat primer dam merupakan makanan bagi ruhani dan jiwanya. Firman Allah “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah” (Al-Ambiyaa’:73). Jadi kecerdasan ubudiyah suatu anugerah dari Allah swt berupa kemampuan dan skill mengaplikasikan sikap penghambaan sangat tulus dan otomatis, baik dalam keadaan sendiri maupun jamaah, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, baik secara vertikal atau horisontal, baik dalam kondisi bagaimanapun, dimanapun dan kapanpun.
·        Kelima, Kecerdasan Khuluqiyah, ialah kemampuan fitrah seseorang yang shalih dalam berperilaku, bersikap dan berpenampilan terpuji. Dalam hal ini terintegrasi dalam akhlak yang baik. Suatu perbuatan atau prilaku dapat dikatakan sebagai akhlak apabila memenuhi dua syarat, yaitu :
1.    perbuatan dilakukan dengan berulang-ulang. Apabila perbuatan hanya dilakukan sesekali saja, maka perbuatan itu tidak dapat dikatakan sebagai akhlak.
2.    perbuatan timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dalam sehingga ia benar-benar merupakan suatu kebiasaan. Jika perbuatan itu timbul karena terpaksa atau setelah dipikirkan atau dipertimbangkan secara matang, tidaklah disebut akhlak. Karena akhlak Islamiyah mempunyai ciri yaitu kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyah al-muthlaqah), kebaikannya bersifat menyeluruh (as-salahiyyah al-‘ammah), tetap, langgeng dan mantap, kewajiban yang harus dipatuhi (al-ilzam al-mustajab), dan pengawasan yang menyeluruh (ar-raqabah al-muhithah). Firman Allah “Sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak (budi pekerti) yang agung” (QS. Al-Qalam: 4), Hadits Nabi “Sesungguhnya aku telah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).

Dengan demikian, atas tersingkapnya karakter lima kecerdasan sebagaimana disebutkan di atas, merupakan pengejawantahan dari wujud kesehatan mental sebagai solusi pengembangan qalbiah itu sendiri. Adapun bentuknya terefleksikan dari struktur kepribadian. Jika struktur dalam kendali kalbu, maka komponen nafsani manusia memiliki potensi positif, yang apabila dikembangkan secara maksimal akan mendatangkan kecerdasan yang teraktualisasikan sebagai kecerdasan qalbiyah yang meliputi: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan beragama. Dari sini insyaallah potensi manusia dalam aktualisasinya sebagai khalifah fil ardy akan mewujudkan sosok insan kamil yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin.

c.       Gangguan Mental
Gangguan mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini sesuai dengan Al-Quran (QS. Al-Baqoroh 2:10)

Artinya: Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya;
dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta yakni keyakinan mereka
 terdahap kebenaran nabi Muhammad s.a.w. lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam.
       Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh (A. Scott, 1961) meliputi beberapa hal:
1)      Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia ada.
2)      Ketidak bahagiaan secara subyektif.
3)      Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan.
4)      Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit, namun ada sebagian yang tidak mendapat pengobatan tersebut.
Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.


KESIMPULAN
Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya  sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.
Hal ini dapat ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri terhadap seluruh aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan gagal dalam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama, bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi, hal ini sesuai dengan konsep sosiologi modern yaitu manusia sebagai makhluk Zoon Politicon.


DAFTAR PUSTAKA
Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Abdul Mujib, M.Ag. Jusuf Mudzakir, M.Si

2 komentar:

  1. Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.

    BalasHapus