Rabu, 01 Mei 2013

Perkembangan Spiritual


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia terdiri dari dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual dimana setiap dimensi harus dipenuhi kebutuhannya. Berdasarkan hakikat tersebut, maka perkembangan memandang manusia sebagai mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual. Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan.
            Dengan mempertimbangkan pendekatan yang ditempuh Al-Qur’an dalam menghampiri spiritualitas, kita harus memahami dengan jelas lebih dahulu apa yang disiratkan oleh istilah spiritual daam konteks wacana masa kini. Spiritualitas memiliki banyak arti bagi banyak orang. Ia adalah sebuah istilah yang akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa siapa saja yang memandang Tuhan  atau Roh Suci sebagai norma yang penting dan menentukan atau prinsp hidupnya.
            Dalam Al-Qur’an, bahwa manusia diciptakan dengan ruh yang memiliki citra keTuhanan.

﴿الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ¤ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ¤ ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ 
السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ﴾

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” ( QS Al-Sajdah [32]: 7-9)     
            Karena manusia memiliki tubuh yang harus dipenuhi kebutuhan fisiknya dan hal inilah maka manusia sering kali melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan perintah Tuhannya, yang membuat dirinya berada pada tahap perkembangan spiritual yang paling bawah. Namun sebaliknya ketika kebutuhan spiritual yang terpenuhi pada nantinya manusia akan dapat merasakan kesejahteraan yang tidak hanya terfokus pada fisik maupun psikologis saja, tetapi juga kesejateraan dalam aspek emosi, intelektual, dan sosial-nya.
Kesejahteraan spiritual adalah suatu faktor yang terintegrasi dalam diri seorang individu secara keseluruhan, yang ditandai oleh makna dan harapan. Spiritualitas memiliki dimensi yang luas dalam kehidupan seseorang sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik dari psikologi sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam pemberian asuhan psikologi kepada manusia.
Dari semua cabang ilmu kesehatan, ilmu kesehatan jiwa yang paling dekat dengan agama, bahkan menurut Dadang Hawari (1996) terdapat titik temu antara kesehatan jiwa dan agama. Pada prakteknya, ilmu pengetahuan dan agama saling menunjang. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, ilmu pengetahuan tanpa agama bagaikan orang buta, tetapi agama tanpa ilmu pengatahuan bagaikan orang lumpuh. Merujuk pada pentingnya pengetahuan dan agama tersebut untuk jiwa yang sehat banyak penelitian dilakukan diantaranya sebuah penelitian yang mengatakan kelompok yang tidak terganggu jiwanya adalah yang mempunyai agama yang bagus dan sebaliknya.
Penelitian lain yang disebutkan dalam buku La Tahzan seseorang dinyatakan usianya tinggal beberapa bulan, tetapi karena ia memilki koping yang baik berdasarkan pengalaman agamanya, ia tetap bahagia menjalani hari-harinya dengan bernyanyi dan ceria, membuat puisi-puisi yang indah. Ternyata orang tersebut mampu bertahan hingga bartahun-tahun. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Pressman, dkk (1990) menunjukkan bahwa wanita lanjut usia yang menderita farktur tulang pinggul yang kuat religi dan pengalaman agamanya, ternyata lebih kuat mental dan kurang mengeluh, depresi, dan lebih cepat berjalan daripada yang tidak mempunyai komitmen agama.Dari hal-hal tersebut diatas dapat dikatakan dimensi spiritual menjadi hal penting sebagai terapi kesehatan.
Spiritual itu sendiri merupakan komitmen tertinggi individu, prinsip yang paling komprehensif tentang argumen yang sangat kuat terhadap pilihan yang dibuat dalam hidup (farran et al 1989 dalam potter & perry, 2005). Sedangkan keyakinan spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang maha kuasa & maha pencipta. Sebagai contoh seseorang yang percaya pada Allah sebagai pencipta atau sebagai maha kuasa (hamid, 2008). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa spiritual merupakan suatu keyakinan didalam diri yang berasal dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai luhur dari yang diyakini dan dijadikan sebagai sumber kekuatan untuk menghadapi masalah dan ketenangan hidup.





B.     Rumusan Masalah
Identifikasi permasalahan berdasarkan materi yang dipelajari yaitu Perkembangan Spiritual terdiri dari:
1.      Pengertian Perkembangan Spiritual
2.      Perkembangan Spiritual menurut beberapa ahli
3.      Faktor yang mempengaruhi Perkembangan Spiritual

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian Perkembangan Spiritual
2.      Untuk mengetahui Perkembangan Spiritual menurut beberapa ahli
3.      Untuk mengetahui Faktor yang mempengaruhi Perkembangan Spiritual


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Perkembangan Spiritual
Spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas atau udara, spirit memberikan hidup, menjiwai seseorang. Spirit memberikan arti penting ke hal apa saja yang sekiranya menjadi pusat dari seluruh aspek kehidupan seseorang. Spiritual adalah suatu yang dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup kepercayaan dan nilai kehidupan. Spiritualitas mampu menghadirkan cinta, kepercayaan, dan harapan, melihat arti dari kehidupan dan memelihara hubungan dengan sesama.
Spiritual adalah konsep yang unik pada masing-masing individu (Farran et al, 1989). Masing-masing individu memiliki definisi yang berbeda mengenai spiritual, hal ini dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup dan ide-ide mereka sendiri tentang hidup. Menurut Emblen, 1992 spiritual sangat sulit untuk didefinisikan. Kata-kata yang digunakan untuk menjabarkan spiritual termasuk makna, transenden, harapan, cinta, kualitas, hubungan dan eksistensi. Spiritual menghubungkan antara intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri), interpersonal (hubungan antara diri sendiri dan orang lain), dan transpersonal (hubungan antara diri sendiri dengan tuhan/kekuatan gaib). Spiritual adalah suatu kepercayaan dalam hubungan antar manusia dengan beberapa kekuatan diatasnya, kreatif, kemuliaan atau sumber energi serta spiritual juga merupakan pencarian arti dalam kehidupan dan pengembangan dari nilai-nilai dan sistem kepercayaan seseorang yang mana akan terjadi konflik bila pemahamannya dibatasi. (Hanafi, djuariah. 2005).
B.     Perkembangan Spiritual menurut Para ahli

1.      Tahap Perkembangan Kepercayaan Fowler
James W. Folwer dalam buku Stages of Faith mengembangkan teori tentang tahap perkembangan dalam keyakinan seseorang ( Stages of Faith Development ) sepanjang rentang kehidupan manusia. Menurut Fowler, kepercayaan merupakan orientasi holistik yang menunjukan hubungan antara individu dengan alam semesta.
Teori perkembanggan spiritual Fowler terbagi atas 6 tahap pada tahap pertama, kepercayaan intuitif-proyektif (usia 3-7 tahun), masih terdapat karakter kejiwaan yang berlum terlindungi dari ketidak sadaran. Anaka masih belajar untuk membedakan hayalanya dengan realitas yang sesungguhnya pada tahap kedua, kepercayaan mythikal-literal (usia sekolah), seseorang telah mulai mengembangkan keimanan yang kuat dalam kepercayaannya anak juga sudah mengalami prinsip saling ketergantungan dalam alam semesta, namun ia masih melihat kekuatan kosmik dalam bentuk seperti yang terdapat pada manusia. Pada tahap ke tiga kepercayaan sintetik-konvensional (usia remaja) seseorang mengembangkan karakter keimanan terhadap kepercayaan yang di milikinya. Ia mempelajari sistem kepercayaannya dari orang lain disekitarnya, namun masih terbatas pada sistem kepercayaan yang sama. Tahap ke empat kepercayaan individuatif-reflektif (usia 20-awal 40an), merupakan tahap percobaan dan pergolakan, dimana individu mulai mengembangkan tanggung jawab pribadi dan persaannya terhadap kepercayaan. Individu memperluas pandangannya untuk mencapai jalan kehidupannya. Pada  tahap kelima kepercayaan kondingtif seseorang mulai mengetahui berbagai pertentangan yang terdapat dalam realitas kepercayaannya. Terjadi transendensi terhadap kenyataan dibalik simbol-simbol yang diwariskan oleh sistem. Pada tahap ke enam, kepercayaan universal, terjadi sesuatu yang disebut pencerahan manusia mengalami transendensi pada tingkat pengalaman yang lebih tinggi sebagai dari pemahamannya terhadap lingkungan yang konfliktual dan penuh parakdoksal. Menurut Fowler  kebanyakan manusia berhenti pada tahap ke empat, dan kebanyakan tidak mencapai tahap lima dan enam.
Teori Fowler banyak di pertanyakan, baik dari perspektif psikologi maupun teologi dan dianggap belum memiliki validitas empirik. Meskiun terdapat bukti bahwa anak berusia 12 tahun cenderung pada dua tahap awal perkembangan. Namun terdapat bukti pada orang dewasa yang berusia 60-an memiliki variasi yang diperhatikan pada tahap tiga keatas. Model ini mendapat serangan dari metode ilmiah, karena kelemahan metodelogi. Kritik lain mempertanyakan apakah tahap ini menunjukan komitmen Fowler sendiri berada dalam tahap perkembangan spiritual tertinggi. Namun teori Fowler mendapatkan lingkaran akademik keagamaan, dan menjadi titik awal yang penting untuk berbagai dari penelitian lanjutan.
2.      Tahap perkembangan spiritual sufistik
Menurut Islam, manusia yang lahir dengn jiwa yang suci (nafsi zakiya). Namun, manusia juga lahir di dunia dengan memiliki eksistensi fisik yang terdiri daridaging dan tulang. Keberadaan fisik manusia menimbulkan keterkaitan dengan dunia tempat mereka tinggal, dan dapat memberikan kegelapan dan menutupi keindahan dan kebijaksanaan yang tersimpan dalam diri mereka. Pada asalnya, manusia dapat menjadi lupadan terus-menerus hidup dalam kesombongan.
Tujuan dari sufisme, seperti juga mistik lainnya, adalah untuk membersihkan hati, mendidik dan mentransformasikan jiwa untuk menemukan Tuhan. Tingkat terendah dalam jiwa manusia di dominasi oleh dorongan-dorongan yang untuk memuaskan diri yang bersifat  egois dan tamak yang menjauhkan seseorang mendapatkan kebenaran. Tingkat yang paling tinggi adalah jiwa yang murni, yang tidak memiliki dualitas dan tidak terpisahkan dari Tuhan.
Terpada tujuh tingkatan spiritualitas manusia, dari yang bersifat egoistik sampai yang suci secara spiritual, yang dinilai bukan oleh manusia, namun angsung oleh Allah. Sebelum naik pada tingkat perjalanan yang lebih tinggi, satu hal yang harus di ingat adalah mengenal karakteristik dari masing-masing tingkatan, tingkatan ini terdiri dari:
a.      Nafs Ammarah (The Commanding  Self)
Orang yang berada pada tahap ini adalah orang yang nafsunya didominasi godaan yang mengajaknya kearah kejahatan. Pada tahap ini, seseorang tidak dapat mengontrol kepentingan dirinya dan tidak memiliki moralitas atau perasaan kasih. Hal ini menunjukan keinginan fisik dan egoisme. Pada tahap ini kesadaran akal manusia dikalahkan oleh keinginan nafsu hewani. Manusai tidak memiliki batasan moral untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Jiwa manusia pada awalnya suci dan beriman, namun manusia terlena dengan kenikmatan  duniawi dan tenggelam dalam nilai materialistik.
b.      Nafs Lawwamah (The Regretful Self)
Manusia memiliki kesadaran terhadap prilaku, ia dapat membedakan yang baik dan yang buruk, dan menyesali kesalahan-kesalahannya. Namun, ia belum memiliki kemampuan untuk merubah gaya hidupnya dengan cara yang signifikan. 
Pada tahap ini, terdapat tiga hal yang akan menjadi bahaya, yaitu kemunafikan, kesombongan, dan kemarahan, yaitu mereka yang berada pada tahap ini, ingin orang ain megetahui bahwa dirinya sedang berusaha untuk berubah. Dia menunnjukan segala kebaikan dihadapan orang lain dan mengharap pujian dari segala pihak. Orang yang munafik menginginkan pujian orang lain. Kesombongan terjadi karena orang tersebut memandang bahwa segala usaha untuk melakukan hal yang baik merupakan prestasi. Hal ini membuat dirinya merasa sebagai orang yang terbaik, bahkan lebih baik dari pada semua orang. Kemudian, kemarahan dapat timbul jika ia merasa dirinya tidak dihargai.
Mereka yang ada pada tingkat ini tidak bebas dari godaan. Kekecewaan terhadap penghargaan orang lain atas perbuatan prilakunya dapat membuat kembali pada tahap sebelumnya. Semakin orang lama pada tahap ini, semakin banyak godaan yang ia terima.
c.       Nafs mulhimah ( The Inspired Self)
Pada tahap ini orang mulaimerasakan ketulusan dari ibadahnya. Ia benar-benar termotivasi pada cinta kasih, pengabdian dan nilai-nilai moral. Tahap ini awal dari praktek sufisme yang sesungguhnya. Perilaku yang umum pada tahap ini adalah kelembutan, kasih sayang, kreativitas dan tindakan moral. Secara keseluruhan, orang yang berada pada tahap ini memiliki emosi yang matang, menghargai dan dihargai orang lain.
Pada saat ini, manusia mulai mendapatkan pesan dar nuraninya sendiri: semacam bisikan tnpa kata-kata yang memberinya inspirasi tentang arah tujuan, mendorongnya dan memperkuat usahanya. Namun, terkadang kejahatan menyamar dalam bisikan tersebut dengann mendorong sesuatu yang tampaknya baik padahal tidak.untuk belajar membedakannya, orang ini harus belajar dengan bantuan orang yang lebih berpengalaman, yaitu orang yang mampu membedakan ilham yang sesungguhnyadengan imajinasi palsu yang jahat. Suara ego dapat dengan mudah dianggap sebagai petunjuk, terutama jika ego mengubah bahasanya dari material ke spiritual. Dalam badai ini, salah satu cara untuk menyelamatkannya adalah mematuhi aturan agamanya, ia harus shalat, puasa, membayar zakat dan lebih berhati-hati atas perbuatannya. Hadangan lain dalam tahap ini adalah perubahan pemahaman dan pengindraan. Ia seolah lupa akan segala hal yang diketahuiya, bahkan lupa pada diri sendiri. Ia melihat sesuatu berbeda, salah memahaminya, dan membuat kesalahan. Ia merasa seperti dirinya sendiri tidak benar-benar ada dan berimajinasi bahwa ia melebur dengan Allah. Namun, sebenarnya ia menyadari bahwa ia memasuki periode ketidakberdayaan, kekosongan dan kecemasan. Jika ia telah berperang dengan ego dan menjadi lelah dengan aturan dan kewajiban agamanya, ia melakukan segala sesuatu seolah-olah semuanya berasal dari Allah. Ia merasa telah menyatu dengan Allah, namun hal ini menjadikannya kehilangan ketakwaan terhadap Allah. Ia melakukan berbagai dosa atas nama Allah, dan menjadi budak kejahatan.
d.      Nafs Muthma’innah ( The contended Self)
Pada tahap ini orangmerasakan kedamaian. Pergolakan pada tahap awal  telal lewat. kebutuhan dan ikatan-ikatan lama tak lagi penting. Kepentingan diri mulai lenyap, membuat  orang lebih dekat dengan Tuhannya. Tingkatan ini membuat seseorang menjadi berpikiran terbuka, bersyukur, dapat di percaya, dan penuh kasih sayang. Jika seseorang menerima segala kesulitan dengan kesabaran dan ketakwaan, tidak berbeda ketika ia memperoleh kenikmatan, dapat dikatakan bahwa seseorang  telah mencapai tingkat jiwa yang tenang. Seseorang mulai dapat melepaskan semua belenggu diri sebelumnya dan mulai melakukan integrasi kembali semua aspek universal kehidupan dalam dirinya.
Tahap ini merupakan tahap yang dilalui setelah perjalanan panjang dan sulit setelah ia berperang dengan segala kejahatan dan nafsu dalam dirinya, dengan godaan yang selalu menerpa kehidupan duniawinya. Ada saat ini seseorang menerim perintah dari nafsu insani, yang menandakan kenikmatan dari  mengikuti aturan agama dan contoh yang diberikan Nabi Muhammad Saw.. ia memiliki kualitas prilaku yang tinggi, seperti pengasih, pemurah, sabar, pemaaf, ikhlas, bersyukur, bahagia dan damai.
e.       Nafs Riyadhiyah ( The Pleased Self )
Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya namun juga tetap bahagia dalam keadaan sulit,  musibah cobaan dalam kehidupan. Ia menyadari bahwa kesulitan datang dari Allah untuk memperkuat keimanan. Keadaan bahagia tidak bersifat hedonistik atau materialistik, dan sangat berbeda dengan hal biasa dialami orang-orang yang beroreantasi pada hal yang bersifat duniawi, prinsip memenuhi kesenanagan (pleasure principle) dan menghindari rasa sakit (pain priciple). Jika seseorang telah sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur pada Allah, ia telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini. Namun, sedikit sekali yang dapat ,encapai tahap ini.
Dari tahap sebelumnya sampai tahap ini, seseorang mempelajari kata-kata atau contoh orang lain tentang dirinya melalui Ilm al- yaqin medapatkan pengetahuan melalui pengalaman pribadi dan pewahyuan, melalui Ayn al-Yaqin dari keyakinan. Sampai pada tahap ini, segalanya bersifat relatif, namun sekarang ia telah mencapai kebenaran abadi. Manifestasi dari hal ini adalah keadaan pengasih dan penyayang. Ia melihat segalanya sebagai tindakan Allah yang sempurna, yang mencintai mereka dalam setiap setiap situasi. Ia akan mendapatkan penyempurnaan dari segala yang terjadi. Hal ini adalah “Kebenaran Islam”. Terdapat keseimbangan yang sempurna yang harus disadari. Tidak ada kemungkinan kesalahan ketika dia menguasai nafsunya dalam kepasrahan kepada Allah. Ia tidak menginginkan hal lain kecuali yang dimilikinya. Namun, ketika ia berdoa, ia dengan cepat mendapatkan jawabannya. Ia berada dalam tahta spiritualnya, di mana dunia luar ada untuk melayaninya. Ketaqwaan, kepasrahan, kesabaran ,keyukuran, dan kecintaan kepada Allah demikian sempurna, sehingga Allah menanggapinya dengan cepat ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya.
f.       Nafs Madhiyah (The self Pleasing to God)
Mereka yang telah mencapai tahap lanjutmenyadari bahwa segala kekuatan berasal dari Allah, dan tidak dapatvterjadi begitu saja. Mereka tidak lagi mengalami rasa takut dan tidak lagi meminta. Mereka yang berada dalam tahap ini telah mencapai kesatuan internal. Pada tahap awal, seseorang mengalami pergolakan, karena mengalaqmi ketwerpecahan. Kaca yang pecah menghasilkan ribuan bayangan dari satu pencitraan. Jika kaca menjadi bersatu kembali, akan terlihat bayangan yang utuh, kesatuan penciptaan. Dengan menyembuhkan keterpecahan dalam dirinya, seoarang sufi mengalami dunia sebagai kesatuan yang utuh.
Tahap ini termaniffestasi melalui ikatan antara sang pencipta dengan yang diciptakan-Nya, melalui persaan cinta yang mendasarinya. Sang pencipta menemukan manusian yang sempurna (insan kamil) dalam kualitas yang dianugrahi-Nya ketika ia menciptakannya. Nama atau sifat Allah temanifestasi dalam diri manusia pada tingkat ini. Manusia yang sempurna ini telah kehilngan karakteristik fisik hewan yang membuatnya menjadi tidak sempurna dibah perintah nafsu. Sifat keilahiannya melekat dalam dirinya, dan ia telah melihat realitas sejati, yaitu Kebenaran, karena ia telah dianugrahi Ayn al- yaqin, keyakunan. Ia melihat keindahan dalam segalanya, memaafkan dalam kesalahan yang tidak diketahui, ia sabar, murah hati, selalu memberi tidak pernah meminta, mengabdi dengan membawa orang lain cahaya jiwa, dan melindungi orang lain dari bahaya nafsu dan kegelapan duniawi. Segalanya dilakukan demi Allah dan di dalam nama Allah.
Sulit untuk mengenali eksistensi mereka, karena tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Mereka todak dapat dibandingkan dengan konsep biasnya diketahui. Salah satu karakter yang dapat diberikan pada mereka adalah mereka selalu berada dalam keadaan keseimbangan yang sempurna, sepertipusat lingkaran, seperti pusat keseimbangan, tepat di tengah-tengah, tidak kuran atau lebih. Tidak dapat yang dicapai keseimbangan tujuan, kecuali manusia yang sempurna.
g.      Nafs Safiyah ( The Pure Self )
Mereka yang telah mencapai tahap akhir telah mengalami trandensi diri yang seutuhnya. Tidak ada nafs yang tersisa, pada pencapaian dengan Allah di tahap ini, ia telah menyadari kebenaran sejati, “Tidak ada Tuhan selain Allah” . sekarang ia menyadari tidak ada apa-apa lagi kecuali Allah dan setiap indra manusia atau keterpisahan adalah suatu ilusi.
C.    Faktor yang mempengaruhi Perkembangan Spiritual
Spiritual adalah komponen penting dari seorang individu yang dimiliki dan sebuah aspek integral dari filosofi holistik. Perkambangan spiritual pasti mengalami keadaan yang tidak selalu baik seperti halnya fisik. Secara langsung maupun tidak langsung ada beberapa hal yang mempengaruhi perkembangan spiritual. Spiritualitas tidak selalu berkaitan dengan agama, tetapi spiritualitas adalah bagaimana seseorang memahami keberadaannya dan hubungannya dengan alam semesta. Orang-orang mengartikan spiritualitas dengan berbagai cara dan tujuan tersendiri. Setiap agama menyatakan bahwa manusia ada dibawah kuasa Tuhan. Namun, dari semua itu setiap manusia berusaha untuk mengkontrol spiritualitasnya. Inilah yang disebut dengan menjaga kesehatan spiritual.
            nutrisi spiritual. Hal ini termasuk mendengarkan hal-hal positif dan pesan-pesan penuh kasih serta memenuhi kewajiban keagaman yang dianut. Selain itu juga dengan mengamati keindahan dan keajaiban dunia ini dapat memberikan nutrisi spiritual. Menilai keindahan alam dapat menjadi makanan bagi jiwa kita. Bahkan serangga yang terlihat buruk pun adalah sebuah keajaiban untuk diamati dan dinilai.
            Kedamaian dengan meditasi adalah bentuk lain untuk mendapatkan nutrisi spiritual. Hal itu bukanlah meminta Tuhan kita apa yang kita inginkan tetapi mencari keheningan untuk merekleksikan dan berterima kasih atas apa pun yang telah kita terima. Hal lain yang mempengaruhi perkembangan spiritual kita adalah latihan. Tidak hanya latihan dasar untuk kesehatan tubuh, tetapi juga latihan spiritual untuk menjaga spiritual. Latihan ini terdiri dari penggunaan jiwa kita. Sehingga latihan tersebut memberi sentuhan pada jiwa kita dan digunakan untuk menuntun kita untuk bertingkah-laku dengan baik, untuk menunjukan cinta kasih dan perasaan pada oring lain untuk memahami dan untuk mencari kedamaian. Faktor lain yang mempengaruhi kesehatan spiritual adalah lingkungan. Hal ini dikarenakan lingkungan dimana kita hidup adalah somber utama kejahatan ynag dapat mempengaruhi jiwa kita. Kita harus waspada untuk menghindari keburukan yang berasal dari lingkungan kita dan mencari hal positif yang dapat diambil.
            Tantangan yang dapat mengancam perkembangan spiritual kita dapat berasal dari luar maupun dari dalam dari kita. Ancaman dari luar dikarenakan setiap orang memiliki bentuk penularan spiritual yang menyebarkan penyakit spiritual kepada orang lain disekitar mereka. Beberapa orang merusak moral dan mencoba untuk menarik orang lain untuk mengikuti kepercayaannya. Beberapa agama memberikan bekal keimanan yang cukup untuk menolak kepercayaan lain. Banyak orang-orang yang melakukan hal-hal yang buruk dan jahat. Kemudian mempengaruhi orang lain untuk mengikuti hal-hal buruk yang dilakukan. Keinginan untuk melakukan hal-hal buruk tersebut timbul dari keinginan diri sendiri. Jadi, Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan spiritual adalah nutrisi, latihan dan lingkungan tempat tinggal. Selain itu, terdapat ancaman dari luar maupun dari dalam diri kita. Sehingga kita harus pandai-pandai untuk menjaga kesehatan spiritual kita.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Perilaku individu sangat dipengaruhi oleh spiritualisme dalam kehidupaannya. Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Spiritual adalah suatu yang dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup kepercayaan dan nilai kehidupan. Spiritualitas mampu menghadirkan cinta, kepercayaan, harapan, dan melihat arti dari kehidupan dan memelihara hubungan dengan sesama. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan, memenuhi kewajiban agama, dan kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan. Masalah spiritual ketika penyakit, kehilangan, dan nyeri menyerang seseorang.
Kekuatan spiritual dapat membantu seseorang ke arah perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual. Individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup, dan sumber dari makna hidup. Perubahan perilaku mungkin menjadi perwujudan dari disfungsi spiritual. Manusia yang gelisah tentang hasil tes diagnosa atau yang menunjukan kemarahan setelah mendengar hasil mungkin menjadi menderita distresss spiritual. Orang menjadi lebih merenung, berupaya untuk memperhitungkan situasi dan mencari fakta bacaan yang berlaku. Beberapa reaksi emosional, mencari informasi, dan dukungan dari teman dan keluarga. Pengenalan dari masalah, kemungkinan yang timbul tidak bisa tidur atau kekurangan konsentrasi. Kesalahan, ketakutan, keputusasaan, kekhawatiran, dan kecemasan juga mungkin menjadi indikasi perubahan fungsi spiritual.
Spiritual berkaitan erat dengan dimensi lain dan dapat dicapai jika terjadi keseimbangan dengan dimensi lain ( fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural). Spiritual sangat berpengaruh terhadap koping yang dimiliki individu. Semakin tinggi tingkat spiritual individu, maka koping yang dimiliki oleh individu tersebut juga akan semakin meningkat. Sehingga mampu meningkatkan respon adaptif terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada diri individu tersebut. Peran pendidik adalah bagaimana mampu mendorong manusia untuk meningkatkan spiritualitasnya dalam berbagai kondisi, Sehingga manusia mampu menghadapi, menerima dan mempersiapkan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada diri individu tersebut.


DAFTAR PUSTAKA


           Aliah Hasan Purwaka. (2006). Psikologi Perkembangan Islam, Jakarta.: PT Grafindo Persada.
Daniel G,.( 1999). Emotional Intelligence, Jakarta.: gramdia, Pustaka Utama
Danah Zohar. (2000). Spiritual Intelligence The Ultimate Intelligence:Great Britain
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosda
Gunarsa, Singgih. 1981. Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Mulia
Hurlock, Elizabeth B. 1993. Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga
Kartono, Kartini. 1979. Psikologi Anak. Bandung: Alumni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar